Penderitaan,
kepahlawanan, percintaan, dan lain sebagainya hanya bermula dari
seorang guru yang mengutus kedua muridnya untuk menyelidiki seorang
pendekar yang hendak mencuri kitab Maha Sakti. Kedua murid itu bernama
Sasangta dan Badai, namun sebagai anak
muda yang masih hijau mereka belum pernah merasakan pahit manisnya rimba
persilatan. Sekali turun gunung hati mereka mudah goyah oleh kemilaunya
dunia. Sasangta menjadi menantu seorang raja yang berkuasa di Kerajaan
Biru, sedangkan Badai menjadi wakil ketua pemberontak yang menentang
Kerajaan Biru. Sasangta dan Badai yang semula adalah saudara seperguruan
menjadi musuh yang saling menyerang satu sama lain.
Tunangan
Sasangta yang bernama Permani diperkosa oleh Raramta (seorang pendekar
yang hendak mencuri kitab Maha Sakti). Mengetahui hal tersebut hati
Sasangta hancur, maka ia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan
Permani, ia menikah dengan seorang gadis desa bernama Tyasti. Orang yang
dilahirkan Permani dari hasil pemerkosaan inilah yang akan menjadi
tokoh utama di dalam kisah ini, ia bernama Maruta. Semasa kecilnya
hingga dewasa ia banyak mendapat cobaan dan penderitaan hidup. Tidak
hanya dihina karena tidak diketahui siapa ayahnya, tetapi orang-orang
yang ia sayangi juga dibunuh oleh seorang pendekar yang ternyata adalah
ayah kandungnya sendiri. Anak yang baik hati ini pun tanpa sengaja
bermusuhan dengan ayah kandungnya yang jahat, yang berambisi mengusai
dunia bersama kakak seperguruannya yang berjuluk Siluman Buaya.
Berbagai
masalah datang silih berganti hingga Maruta bertemu dengan seorang
gadis cantik yang kelak akan menjadi pasangan hidupnya, ia adalah
Sasadara (anaknya Sasangta). Pasangan ini sangat serasi dan melambangkan
kesetiaan, mereka berdua belajar ilmu silat bersama-sama setelah
menemukan kitab Sepasang Pendekar di sebuah gua. Mereka menggunakan
ilmunya untuk membela kebenaran, mereka juga memiliki ciri khas
tersendiri dalam aksinya menumpas kejahatan, mereka berdua selalu
bersama dan memiliki senjata berupa tombak.
Di akhir
cerita terjadi peperangan antara Kerajaan Biru dengan Kerajaan Elang
Hitam. Maruta ikut serta berperang membela Kerajaan Biru, hidup ataukah
mati ia terus berjuang mengusir penjajah yang hendak merebut negeri
tempat kelahirannya. Lebih detail dan lebih jelasnya akan diulas di
dalam novel berjudul Asmara Sepasang Pendekar ini. Dan tentunya banyak
hikmah yang terkandung di dalam kisah ini.
Kamis, 25 Agustus 2016
Novel ASMARA SEPASANG PENDEKAR, Tegar Noorwira D.P.
Sudah dapat dipesan...!! :)
Judul buku: Asmara Sepasang Pendekar
Penulis/pengarang: Tegar Noorwira D.P.
Cover: doff
Isi: HVS
Total halaman: 306
Ukuran: 13x19
Penerbit: Novel Bintang Lima
Judul buku: Asmara Sepasang Pendekar
Penulis/pengarang: Tegar Noorwira D.P.
Cover: doff
Isi: HVS
Total halaman: 306
Ukuran: 13x19
Penerbit: Novel Bintang Lima
Harga: Rp 70.000 disc 10% sampai 28-agustus-2016 (3 hari) menjadi Rp
63.000 (belum ongkir). Setelah itu harga kembali normal.Bonus pembatas
buku.
Pemesanan: inbox di fb Egar Noorwira Dp dengan nama lengkap, alamat lengkap, dan no HP.
Dan berikut cover backnya:
Asmara Sepasang Pendekar tidak hanya menggambarkan kisah cinta seorang sepasang kekasih. Tetapi juga menggambarkan begitu pentingnya kesetiaan, kebersamaan, dan kebijaksanaan hidup. Kisah ini mengandung nilai-nilai kebenaran dan nilai-nilai perjuangan. Buku di tangan Anda ini bukan novel sejarah, atau cersil sejarah, melainkan drama-laga-heroik dengan inti cerita tetap pada roman, yang banyak terdapat jago-jago silat.
“Kau benar, kita harus bertanggung jawab, tapi ilmu kita masih belum seberapa. Tahukah kau arti dari mimpi kita? Sebenarnya semua ini sudah menjadi takdir kita memiliki seorang guru yang telah menuliskan ilmu dan kisahnya di dalam gua ini. Dia adalah Pandaya.”
“Maksudmu kita harus mempelajari ilmu kitab dari Pandaya?”
“Tepat sekali,” Maruta berjalan menghampiri sepasang tombak yang berkilau keemasan. Lalu mencabut kedua tombak itu. “Kita pelajari ilmu sepasang tombak milik Pandaya dan Samaratih. Setelah kita berhasil menguasainya, barulah kita menumpas kejahatan.”
Demikianlah, mereka mempelajari ilmu sepasang tombak Kyai Mbobol Ambara dan Nyai Mbobol Ambara atau bisa disebut dengan namaTombak Pemecah Cakrawala. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Tiga tahun kemudian ilmu Maruta dan Sasadara kian sempurna.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan membawa sepasang tombak Mbobol Ambara. Setiap ada kejahatan di daerah yang mereka lewati, mereka tidak tinggal diam. Hingga mereka dikenal dengan sebutan Sepasang Pendekar Rupawan. Nama ini menyebar sampai ke beberapa pelosok daerah. Pendekar golongon putih maupun golongan hitam digemparkan dengan kemunculan pendekar baru ini.
Pemesanan: inbox di fb Egar Noorwira Dp dengan nama lengkap, alamat lengkap, dan no HP.
Dan berikut cover backnya:
Asmara Sepasang Pendekar tidak hanya menggambarkan kisah cinta seorang sepasang kekasih. Tetapi juga menggambarkan begitu pentingnya kesetiaan, kebersamaan, dan kebijaksanaan hidup. Kisah ini mengandung nilai-nilai kebenaran dan nilai-nilai perjuangan. Buku di tangan Anda ini bukan novel sejarah, atau cersil sejarah, melainkan drama-laga-heroik dengan inti cerita tetap pada roman, yang banyak terdapat jago-jago silat.
“Kau benar, kita harus bertanggung jawab, tapi ilmu kita masih belum seberapa. Tahukah kau arti dari mimpi kita? Sebenarnya semua ini sudah menjadi takdir kita memiliki seorang guru yang telah menuliskan ilmu dan kisahnya di dalam gua ini. Dia adalah Pandaya.”
“Maksudmu kita harus mempelajari ilmu kitab dari Pandaya?”
“Tepat sekali,” Maruta berjalan menghampiri sepasang tombak yang berkilau keemasan. Lalu mencabut kedua tombak itu. “Kita pelajari ilmu sepasang tombak milik Pandaya dan Samaratih. Setelah kita berhasil menguasainya, barulah kita menumpas kejahatan.”
Demikianlah, mereka mempelajari ilmu sepasang tombak Kyai Mbobol Ambara dan Nyai Mbobol Ambara atau bisa disebut dengan namaTombak Pemecah Cakrawala. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Tiga tahun kemudian ilmu Maruta dan Sasadara kian sempurna.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan membawa sepasang tombak Mbobol Ambara. Setiap ada kejahatan di daerah yang mereka lewati, mereka tidak tinggal diam. Hingga mereka dikenal dengan sebutan Sepasang Pendekar Rupawan. Nama ini menyebar sampai ke beberapa pelosok daerah. Pendekar golongon putih maupun golongan hitam digemparkan dengan kemunculan pendekar baru ini.
Selasa, 23 Agustus 2016
Rabu, 20 Juli 2016
Cerpen 'Foto Kusam 1956'
Cerpen : Foto Kusam 1956
Oleh : Tegar Noorwira D.P.
Tanggal 16 Mei 2016.
Waktu yang telah ditentukan tiba. Sekarang pukul sebelas malam, aku masih punya waktu satu jam lagi, sebelum melakukan apa yang harus kulakukan. Ini adalah pesan terakhir kakek yang tidak bisa kutolak; merupakan syarat yang diberikan kakek kepadaku sebagai ahli waris tunggal. Sebenarnya, aku merasa ngeri melakukannya; tapi beliau seorang kakek yang perhatian dan sayang kepada cucunya. Tidak seharusnya aku berdusta. Apa gunanya dilahirkan sebagai seorang laki-laki jika tidak memiliki keberanian! Kini, aku masih punya waktu satu jam lagi, sebelum melakukannya. Maka, lebih dulu kukenang hari-hari terakhirku bersama kakek. Di meja kecil ini, di samping tempat tidurnya, kuambil foto berbingkai kusam berukuran 10R, terukir angka tahun 1956 di atas bingkai tersebut. Di dalam bingkai, terpampang foto masa muda kakek yang sedang merangkul nenek. Foto itu memang buram, tapi wajah mereka tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan. Berseri-seri. Serasi dan saling mencintai sepenuh hati.
Setahun yang lalu, pukul delapan malam, aku bersama kakek menunggu KA Lodoya Malam—kelas bisnis yang akan memberangkatkan kami menuju Stasiun Bandung Besar. Satu jam kemudian, kereta datang, para penumpang memasuki gerbong masing-masing. Kami memasuki gerbong 13. Meletakkan pantat di tempat duduk bernomor 5A dan 5B. Di sepanjang perjalanan, kakek menceritakan segalanya tentang nenek. Semua yang diceritakannya membuat air mataku berlinang. Kakek dan nenek bagaikan dua jiwa dalam satu tubuh. Jika salah satunya dicabut dari tubuh itu, maka sebagian yang lainnya akan kehilangan sebagian hidupnya. Itulah yang dirasakan kakek sepeninggal nenek.
Kakek mengusap foto kusam 1956 yang ditaruhnya di atas paha. Kakek tidak mau membawa barang-barang miliknya selain foto tersebut. “Tuhan telah memanggil nenekmu di saat kami seharusnya berbahagia. Dihari itu adalah ulang tahun nenekmu yang ke-40.”
“Penyakit apa yang diderita nenek?” tanyaku kala itu.
“Virus dan komplikasi,” jawab kakek, beliau tidak menoleh sedikit pun ke arahku. Raut wajahnya yang keriput menunduk menatap foto.
Kereta berhenti di stasiun Bandung Besar sekitar pukul tujuh pagi. Setelah menaiki angkot menuju Ciurip, sampailah kami di rumah kakek, yang ternyata jauh dari kota, gelap, dan dikelilingi pepohonan tua. Bulu tengkukku merinding ketika menuntun kakek memasuki gerbang rumah tersebut. Tampak di depan kami rumah tua yang sudah berjamur. Kakek yang sudah berusia lanjut tubuhnya kurus, lemah, gemetaran, dan berjalan lambat; membuatku tidak betah melewati jalan setapak berbatu yang diapit kegelapan pepohonan rimbun.
Akhirnya kami memasuki rumah tak terawat itu. Namun, jika diperbaiki, bisa kubayangkan betapa indah dan mewah—bahkan layak untuk ditempati. Kubantu kakek berbaring di ranjang yang sebelumnya sudah kubersihkan. Ranjang itu menghadap ke arah jendela berbingkai kayu lapuk. Sinar matahari pagi menyorot hangat melewati celah-celah dedaunan yang berada di luar.
Kata Kakek, “Kamu akan menerima seluruh kekayaanku berupa rumah, uang, emas, dan barang-barang berharga milikku.”
“Lalu bagaimana dengan rumah mama yang kita tinggalkan?” tanyaku.
“Rumah itu milik kakek,” jawabnya. “Secara otomatis juga akan menjadi milikmu.”
Aku bahagia mendengarnya. Sebentar lagi aku akan menjadi orang kaya. Tapi, setelah kakek mengucapkan sesuatu kepadaku, mengajariku sebuah rahasia, perasaan bahagiaku tiba-tiba lenyap digantikan oleh perasaan ngeri. Dia memberikan dua persyaratan yang terkesan membebani. Meskipun tergolong lelaki bijaksana, kakek adalah lelaki misterius. Kata mama, kakek sering menyepi. Menyendiri. Dan suka kepada sesuatu yang berbau rahasia. Ia merupakan lelaki cerdas, jenius, serta memiliki imajinasi tinggi. Meskipun mama pernah berkata terang-terangan bahwa kakek terkadang tidak waras. Dulu saat masih muda, kakek sering ke luar negeri mempelajari macam-macam ilmu sejarah; filologi, Palaeografi, dan yang paling ia suka adalah teks-teks mesir kuno, termasuk hieroglif. Konon, kakek adalah seorang alkemis; ia mempercayai bahwa logam biasa bisa menjadi emas dengan cara pencampuran bahan kimia, bahkan menurutnya feses pun mengandung berbagai logam dan mineral, termasuk emas dan perak; lebih gilanya lagi, ia berpendapat bahwa tubuh manusia memiliki kandungan emas yang ikut mengalir bersama darah. Namun, semua itu tidak lebih menakutkan dari dua persyaratan yang harus kulakukan.
Dua hari setelah membantunya berbaring di ranjang beliau meninggal. Wajahnya tersenyum. Seolah-olah tahu kapan hari kematiannya tiba. Satu jam sebelumnya, ia mengingatkan kembali akan pesan terakhirnya; diakhiri dengan sebuah kalimat: “Aku hanya ingin menjadi orang tua sederhana yang hidup berdua bersama nenekmu.”
Di hari itu juga, persyaratan pertama sudah kuselesaikan dengan baik; mengawetkan jasad kakek di ruang bawah tanah; di dekat jasad nenek yang telah diawetkan oleh kakek—pada saat kematiannya. Kini, sudah saatnya aku melakukan persyaratan kedua, yang harus dilakukan pada tanggal 16 Mei 2016 pukul dua belas malam. Semua orang pasti merinding jika melihat apa yang akan kulakukan satu jam lagi.
*READ MORE----> hanya ada di buku kumpulan cerita pendek “Satu Malam Panjang” (pemesanan melalui inbox Egar Noorwira Dp, tersedia/limited).
Oleh : Tegar Noorwira D.P.
Tanggal 16 Mei 2016.
Waktu yang telah ditentukan tiba. Sekarang pukul sebelas malam, aku masih punya waktu satu jam lagi, sebelum melakukan apa yang harus kulakukan. Ini adalah pesan terakhir kakek yang tidak bisa kutolak; merupakan syarat yang diberikan kakek kepadaku sebagai ahli waris tunggal. Sebenarnya, aku merasa ngeri melakukannya; tapi beliau seorang kakek yang perhatian dan sayang kepada cucunya. Tidak seharusnya aku berdusta. Apa gunanya dilahirkan sebagai seorang laki-laki jika tidak memiliki keberanian! Kini, aku masih punya waktu satu jam lagi, sebelum melakukannya. Maka, lebih dulu kukenang hari-hari terakhirku bersama kakek. Di meja kecil ini, di samping tempat tidurnya, kuambil foto berbingkai kusam berukuran 10R, terukir angka tahun 1956 di atas bingkai tersebut. Di dalam bingkai, terpampang foto masa muda kakek yang sedang merangkul nenek. Foto itu memang buram, tapi wajah mereka tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan. Berseri-seri. Serasi dan saling mencintai sepenuh hati.
Setahun yang lalu, pukul delapan malam, aku bersama kakek menunggu KA Lodoya Malam—kelas bisnis yang akan memberangkatkan kami menuju Stasiun Bandung Besar. Satu jam kemudian, kereta datang, para penumpang memasuki gerbong masing-masing. Kami memasuki gerbong 13. Meletakkan pantat di tempat duduk bernomor 5A dan 5B. Di sepanjang perjalanan, kakek menceritakan segalanya tentang nenek. Semua yang diceritakannya membuat air mataku berlinang. Kakek dan nenek bagaikan dua jiwa dalam satu tubuh. Jika salah satunya dicabut dari tubuh itu, maka sebagian yang lainnya akan kehilangan sebagian hidupnya. Itulah yang dirasakan kakek sepeninggal nenek.
Kakek mengusap foto kusam 1956 yang ditaruhnya di atas paha. Kakek tidak mau membawa barang-barang miliknya selain foto tersebut. “Tuhan telah memanggil nenekmu di saat kami seharusnya berbahagia. Dihari itu adalah ulang tahun nenekmu yang ke-40.”
“Penyakit apa yang diderita nenek?” tanyaku kala itu.
“Virus dan komplikasi,” jawab kakek, beliau tidak menoleh sedikit pun ke arahku. Raut wajahnya yang keriput menunduk menatap foto.
Kereta berhenti di stasiun Bandung Besar sekitar pukul tujuh pagi. Setelah menaiki angkot menuju Ciurip, sampailah kami di rumah kakek, yang ternyata jauh dari kota, gelap, dan dikelilingi pepohonan tua. Bulu tengkukku merinding ketika menuntun kakek memasuki gerbang rumah tersebut. Tampak di depan kami rumah tua yang sudah berjamur. Kakek yang sudah berusia lanjut tubuhnya kurus, lemah, gemetaran, dan berjalan lambat; membuatku tidak betah melewati jalan setapak berbatu yang diapit kegelapan pepohonan rimbun.
Akhirnya kami memasuki rumah tak terawat itu. Namun, jika diperbaiki, bisa kubayangkan betapa indah dan mewah—bahkan layak untuk ditempati. Kubantu kakek berbaring di ranjang yang sebelumnya sudah kubersihkan. Ranjang itu menghadap ke arah jendela berbingkai kayu lapuk. Sinar matahari pagi menyorot hangat melewati celah-celah dedaunan yang berada di luar.
Kata Kakek, “Kamu akan menerima seluruh kekayaanku berupa rumah, uang, emas, dan barang-barang berharga milikku.”
“Lalu bagaimana dengan rumah mama yang kita tinggalkan?” tanyaku.
“Rumah itu milik kakek,” jawabnya. “Secara otomatis juga akan menjadi milikmu.”
Aku bahagia mendengarnya. Sebentar lagi aku akan menjadi orang kaya. Tapi, setelah kakek mengucapkan sesuatu kepadaku, mengajariku sebuah rahasia, perasaan bahagiaku tiba-tiba lenyap digantikan oleh perasaan ngeri. Dia memberikan dua persyaratan yang terkesan membebani. Meskipun tergolong lelaki bijaksana, kakek adalah lelaki misterius. Kata mama, kakek sering menyepi. Menyendiri. Dan suka kepada sesuatu yang berbau rahasia. Ia merupakan lelaki cerdas, jenius, serta memiliki imajinasi tinggi. Meskipun mama pernah berkata terang-terangan bahwa kakek terkadang tidak waras. Dulu saat masih muda, kakek sering ke luar negeri mempelajari macam-macam ilmu sejarah; filologi, Palaeografi, dan yang paling ia suka adalah teks-teks mesir kuno, termasuk hieroglif. Konon, kakek adalah seorang alkemis; ia mempercayai bahwa logam biasa bisa menjadi emas dengan cara pencampuran bahan kimia, bahkan menurutnya feses pun mengandung berbagai logam dan mineral, termasuk emas dan perak; lebih gilanya lagi, ia berpendapat bahwa tubuh manusia memiliki kandungan emas yang ikut mengalir bersama darah. Namun, semua itu tidak lebih menakutkan dari dua persyaratan yang harus kulakukan.
Dua hari setelah membantunya berbaring di ranjang beliau meninggal. Wajahnya tersenyum. Seolah-olah tahu kapan hari kematiannya tiba. Satu jam sebelumnya, ia mengingatkan kembali akan pesan terakhirnya; diakhiri dengan sebuah kalimat: “Aku hanya ingin menjadi orang tua sederhana yang hidup berdua bersama nenekmu.”
Di hari itu juga, persyaratan pertama sudah kuselesaikan dengan baik; mengawetkan jasad kakek di ruang bawah tanah; di dekat jasad nenek yang telah diawetkan oleh kakek—pada saat kematiannya. Kini, sudah saatnya aku melakukan persyaratan kedua, yang harus dilakukan pada tanggal 16 Mei 2016 pukul dua belas malam. Semua orang pasti merinding jika melihat apa yang akan kulakukan satu jam lagi.
*READ MORE----> hanya ada di buku kumpulan cerita pendek “Satu Malam Panjang” (pemesanan melalui inbox Egar Noorwira Dp, tersedia/limited).
Cerpen 'Gadis Dalam Ingatan'
Cerpen: Gadis Dalam Ingatan
Oleh: Tegar Noorwira D.P.
Kata mereka, kepalaku mengalami benturan keras akibat kecelakaan. Meskipun tidak fatal. Tidak menyebabkan amnesia yang parah. Ingatanku dapat kembali secara bertahap dari waktu ke waktu. Aku tidak kehilangan seluruh ingatanku. Aku masih bisa mengingat identitas diriku. Karena dukungan psikologis disertai terapi, aku bisa mengingat lingkungan sekitar; teman, dan juga saudara. Namun, satu hal yang belum bisa kuingat secara jelas; gadis yang menghiasi seisi kamarku. Mulai dari foto, nama, serta benda-benda lain yang katanya adalah kenangan manisku bersamanya.
“Ya, itu foto kenang-kenanganmu bersama Elifa,” kata adikku yang sedang melatih daya ingatku. “Kau bisa mengingatnya?”
“Belum,” jawabku. “Siapa dia?”
“Kekasihmu.”
“Di mana dia? Apakah dia tahu aku mengalami kecelakaan?”
Mendengar pertanyaan Husen, raut wajah Vanti berubah menjadi tegang. Katanya, “Aku ada janji dengan seorang teman!”
Vanti terburu-buru keluar dari kamar. Aku tahu, ada sesuatu yang disembunyikan dariku. Tapi apa? Aku duduk termangu-mangu menghadap ke jendela yang tirainya tersibak dihembus angin sore. Aku berusaha mengingat-ingat kisahku bersama Elifa. Sedikit demi sedikit, aku mulai mengingatnya. Tentang gelak tawa, berdansa, mendaki bukit, dan—apa lagi? Tiba-tiba kepalaku pusing. Begitu lemahnya kemampuanku untuk mengingat kembali kejadian yang lalu. Kurebahkan diriku di ranjang.
Sudah berapa lama aku tertidur? Kulihat jendela kamarku masih terbuka. Kini, yang terlihat adalah pemandangan malam. Bulan tidak berseri. Muram. Hawa dingin menyusup masuk. Aku bangkit dari ranjang lalu menutup jendela beserta tirainya. Terdengar suara lemah lembut memanggilku dari belakang, “Husen!” sesosok gadis masuk ke dalam kamarku, membuatku tertegun. Tidak begitu cantik namun pesonanya telah menjeratku.
“Elifa,” ujarku. “Kaukah itu?”
“Benar.”
“Apa yang telah terjadi di antara kita?”
Elifa diam. Di saat itu terdengar suara Vanti memanggil-manggil namaku. Cepat-cepat Elifa keluar bersamaan dengan masuknya Vanti.
“Tunggu, Elifa!” teriakku.
“Elifa?” Vanti bingung.
“Ya, Elifa. Kau sudah rabun?”
“Apa maksudmu?” Vanti menaikkan nada bicaranya.
“Elifa baru saja keluar saat kau masuk.”
“Aku tidak melihatnya.”
Aku terduduk lesu. Apakah aku sudah gila? Pikirku.
“Aku hanya ingin menyarankan,” Vanti menatapku iba. “Besok, pergilah berlibur untuk menyegarkan otak.”
Kuterima saran adikku. Demi memperbaiki ingatanku—aku berlibur ke tempat-tempat di mana aku pernah berdua dengan Elifa; ditemani seorang sopir pribadi yang menjadi pemandu.
“Apakah Tuan bisa mengingat sesuatu di kafe ini?” tanya sopirku. Kami duduk berdua menikmati kopi dan dihibur dengan musik romantis.
Kudengar baik-baik musik yang dilantunkan, kulihat setiap orang yang sedang berdansa, dan kuamati seluruh ruangan. Setelah itu, barulah kujawab pertanyaan sang sopir, “Di tempat ini aku pernah berdansa dengan Elifa. Dia memelukku dan mengatakan sesuatu kepadaku,” kuhentikan perkataanku, mencoba mengingat-ingatnya. “Dia mengatakan ‘aku mencintaimu, Husen, mencintaimu sepenuh hati, dan jangan pernah tinggalkan aku’ ya, dia mengatakan seperti itu kepadaku.”
Kutatap lekat-lekat wajah sopirku, “Bagaimana hubunganku dengan Elifa saat ini?”
Sang sopir gugup, “Soal itu, saya benar-benar tidak tahu.”
***
Setelah semua tempat kami kunjungi, berangsur-angsur ingatanku mulai pulih. Aku bisa mengingat hari-hari indahku bersama Elifa. Membangkitkan rasa bahagia di dadaku. Tapi ingatanku belum sepenuhnya terbuka. Kenapa aku bisa kecelakaan? Bagaimana hubunganku dengan Elifa saat ini? Aku belum bisa menjawab.
Hari-hari berikutnya Elifa selalu datang menemuiku. Tapi, setiap kali ada yang datang, ia terburu-buru pergi. Apa yang sebenarnya terjadi? Ingin sekali aku ke rumahnya, menanyakan hubungan kami. Maka, aku segera berjalan menuju kamar Vanti, menanyakan di mana Elifa tinggal. Sesampainya di ruang tengah, kuhentikan langkahku. Kulihat Vanti sedang berbicara dengan Atanto, sopir pribadiku.
“Apa saja yang kau katakan kepada kakakku?”
“Saya tidak mengatakan apa-apa.”
“Ingat, jangan katakan Elifa sudah meninggal.”
“Ya, saya mengerti,” Atanto mengangguk.
“Aku tidak mau membuatnya sedih. Aku juga tidak tega—semisal mengatakan semua ini kepadanya. Biarlah suatu saat nanti dia mengingatnya sendiri secara alami.”
Kemudian, Atanto pamit meninggalkan Vanti.
Hatiku bagaikan disambar petir mendengar apa yang mereka bicarakan. Benarkah Elifa sudah meninggal? Lalu siapa yang sering menemuiku? Tanpa berpikir panjang kutanyakan semua ini kepada Vanti. Aku harus memaksanya berkata jujur.
“Aku sudah mendengar semua pembicaraanmu,” kataku kepada Vanti. Kami duduk di sofa ruang tamu.
“Tak ada lagi yang perlu kau sembunyikan dariku,” kutatap tajam wajahnya. “Kenapa Elifa meninggal? Kenapa?”
*READ MORE----> hanya ada di buku kumpulan cerita pendek “Satu Malam Panjang” (pemesanan melalui inbox Egar Noorwira Dp, tersedia/limited).
Oleh: Tegar Noorwira D.P.
Kata mereka, kepalaku mengalami benturan keras akibat kecelakaan. Meskipun tidak fatal. Tidak menyebabkan amnesia yang parah. Ingatanku dapat kembali secara bertahap dari waktu ke waktu. Aku tidak kehilangan seluruh ingatanku. Aku masih bisa mengingat identitas diriku. Karena dukungan psikologis disertai terapi, aku bisa mengingat lingkungan sekitar; teman, dan juga saudara. Namun, satu hal yang belum bisa kuingat secara jelas; gadis yang menghiasi seisi kamarku. Mulai dari foto, nama, serta benda-benda lain yang katanya adalah kenangan manisku bersamanya.
“Ya, itu foto kenang-kenanganmu bersama Elifa,” kata adikku yang sedang melatih daya ingatku. “Kau bisa mengingatnya?”
“Belum,” jawabku. “Siapa dia?”
“Kekasihmu.”
“Di mana dia? Apakah dia tahu aku mengalami kecelakaan?”
Mendengar pertanyaan Husen, raut wajah Vanti berubah menjadi tegang. Katanya, “Aku ada janji dengan seorang teman!”
Vanti terburu-buru keluar dari kamar. Aku tahu, ada sesuatu yang disembunyikan dariku. Tapi apa? Aku duduk termangu-mangu menghadap ke jendela yang tirainya tersibak dihembus angin sore. Aku berusaha mengingat-ingat kisahku bersama Elifa. Sedikit demi sedikit, aku mulai mengingatnya. Tentang gelak tawa, berdansa, mendaki bukit, dan—apa lagi? Tiba-tiba kepalaku pusing. Begitu lemahnya kemampuanku untuk mengingat kembali kejadian yang lalu. Kurebahkan diriku di ranjang.
Sudah berapa lama aku tertidur? Kulihat jendela kamarku masih terbuka. Kini, yang terlihat adalah pemandangan malam. Bulan tidak berseri. Muram. Hawa dingin menyusup masuk. Aku bangkit dari ranjang lalu menutup jendela beserta tirainya. Terdengar suara lemah lembut memanggilku dari belakang, “Husen!” sesosok gadis masuk ke dalam kamarku, membuatku tertegun. Tidak begitu cantik namun pesonanya telah menjeratku.
“Elifa,” ujarku. “Kaukah itu?”
“Benar.”
“Apa yang telah terjadi di antara kita?”
Elifa diam. Di saat itu terdengar suara Vanti memanggil-manggil namaku. Cepat-cepat Elifa keluar bersamaan dengan masuknya Vanti.
“Tunggu, Elifa!” teriakku.
“Elifa?” Vanti bingung.
“Ya, Elifa. Kau sudah rabun?”
“Apa maksudmu?” Vanti menaikkan nada bicaranya.
“Elifa baru saja keluar saat kau masuk.”
“Aku tidak melihatnya.”
Aku terduduk lesu. Apakah aku sudah gila? Pikirku.
“Aku hanya ingin menyarankan,” Vanti menatapku iba. “Besok, pergilah berlibur untuk menyegarkan otak.”
Kuterima saran adikku. Demi memperbaiki ingatanku—aku berlibur ke tempat-tempat di mana aku pernah berdua dengan Elifa; ditemani seorang sopir pribadi yang menjadi pemandu.
“Apakah Tuan bisa mengingat sesuatu di kafe ini?” tanya sopirku. Kami duduk berdua menikmati kopi dan dihibur dengan musik romantis.
Kudengar baik-baik musik yang dilantunkan, kulihat setiap orang yang sedang berdansa, dan kuamati seluruh ruangan. Setelah itu, barulah kujawab pertanyaan sang sopir, “Di tempat ini aku pernah berdansa dengan Elifa. Dia memelukku dan mengatakan sesuatu kepadaku,” kuhentikan perkataanku, mencoba mengingat-ingatnya. “Dia mengatakan ‘aku mencintaimu, Husen, mencintaimu sepenuh hati, dan jangan pernah tinggalkan aku’ ya, dia mengatakan seperti itu kepadaku.”
Kutatap lekat-lekat wajah sopirku, “Bagaimana hubunganku dengan Elifa saat ini?”
Sang sopir gugup, “Soal itu, saya benar-benar tidak tahu.”
***
Setelah semua tempat kami kunjungi, berangsur-angsur ingatanku mulai pulih. Aku bisa mengingat hari-hari indahku bersama Elifa. Membangkitkan rasa bahagia di dadaku. Tapi ingatanku belum sepenuhnya terbuka. Kenapa aku bisa kecelakaan? Bagaimana hubunganku dengan Elifa saat ini? Aku belum bisa menjawab.
Hari-hari berikutnya Elifa selalu datang menemuiku. Tapi, setiap kali ada yang datang, ia terburu-buru pergi. Apa yang sebenarnya terjadi? Ingin sekali aku ke rumahnya, menanyakan hubungan kami. Maka, aku segera berjalan menuju kamar Vanti, menanyakan di mana Elifa tinggal. Sesampainya di ruang tengah, kuhentikan langkahku. Kulihat Vanti sedang berbicara dengan Atanto, sopir pribadiku.
“Apa saja yang kau katakan kepada kakakku?”
“Saya tidak mengatakan apa-apa.”
“Ingat, jangan katakan Elifa sudah meninggal.”
“Ya, saya mengerti,” Atanto mengangguk.
“Aku tidak mau membuatnya sedih. Aku juga tidak tega—semisal mengatakan semua ini kepadanya. Biarlah suatu saat nanti dia mengingatnya sendiri secara alami.”
Kemudian, Atanto pamit meninggalkan Vanti.
Hatiku bagaikan disambar petir mendengar apa yang mereka bicarakan. Benarkah Elifa sudah meninggal? Lalu siapa yang sering menemuiku? Tanpa berpikir panjang kutanyakan semua ini kepada Vanti. Aku harus memaksanya berkata jujur.
“Aku sudah mendengar semua pembicaraanmu,” kataku kepada Vanti. Kami duduk di sofa ruang tamu.
“Tak ada lagi yang perlu kau sembunyikan dariku,” kutatap tajam wajahnya. “Kenapa Elifa meninggal? Kenapa?”
*READ MORE----> hanya ada di buku kumpulan cerita pendek “Satu Malam Panjang” (pemesanan melalui inbox Egar Noorwira Dp, tersedia/limited).
Jumat, 24 Juni 2016
Kumpulan Cerita Pendek Satu Malam Panjang, Tegar Noorwira D.P.
OPEN PRE ORDER!!
"Tumbuh menjadi inspirasi bagi siapa saja yang bersedia membacanya."
Judul: Satu Malam Panjang (kumpulan cerita pendek)
Penulis/pengarang: Tegar Noorwira D.P.
Tebal: lV+150 halaman, 13X19cm
Cover: doff
Cetakan: 2016
Diterbitkan oleh: Penerbit Novel Bintang Lima Yogyakarta, dicetak dipercetakan berkualitas.
Harga: Rp 55.000 gratis ongkir+bonus satu novel karya penulis tahun 2011(batas waktu gratis novel sampai tanggal 29 juni 2016).
"Tumbuh menjadi inspirasi bagi siapa saja yang bersedia membacanya."
Judul: Satu Malam Panjang (kumpulan cerita pendek)
Penulis/pengarang: Tegar Noorwira D.P.
Tebal: lV+150 halaman, 13X19cm
Cover: doff
Cetakan: 2016
Diterbitkan oleh: Penerbit Novel Bintang Lima Yogyakarta, dicetak dipercetakan berkualitas.
Harga: Rp 55.000 gratis ongkir+bonus satu novel karya penulis tahun 2011(batas waktu gratis novel sampai tanggal 29 juni 2016).
Dapat dipesan melalui inbox Egar Noorwira Dp/Novel Bintang Lima/BBM
5B736231 dengan format pemesanan Nama lengkap_alamat lengkap_No HP.
Pengiriman barang akan segera diproses setelah transfer ke no rekening
yang akan diberitahukan lewat inbox.
BACK COVER:
Ada kisah apa di balik kumpulan cerita pendek Satu Malam Panjang?
Pembaca akan menikmati cerita-cerita sederhana dan hangat, potongan-potongan kehidupan dalam berbagai macam tema; kumpulan cerita pendek romantis dan imajiner, tapi juga bisa membuat Anda sembunyi di balik selimut. Beberapa cerita pendek tentang ketakutan dan kejiwaan bergaya misteri cocok untuk Anda yang menggemari cerita-cerita seram. Seperti Doberman, mengisahkan seorang pria misterius yang selalu membeli anjing; Foto Kusam 1956, tentang seorang cucu yang mendapat wasiat mengerikan dari kakeknya; Kasus Aneh, mengisahkan kasus kematian yang jarang terjadi. Di samping itu, Anda juga akan menemukan beberapa kisah bergaya romansa; seperti Nada Cinta, kisah cinta sepasang manusia yang dipersatukan oleh satu sebab; Kisah Martimah, kisah cinta masa lalu seorang nenek bernama Martimah.
"Lembaran kisah ini adalah bukti kerja keras kawan saya. Lincah jemarinya membentuk roncean aksara menjadi cerita. Menghabiskan ribuan detik untuk mengetik". (Sifa Pujia, penulis)
BACK COVER:
Ada kisah apa di balik kumpulan cerita pendek Satu Malam Panjang?
Pembaca akan menikmati cerita-cerita sederhana dan hangat, potongan-potongan kehidupan dalam berbagai macam tema; kumpulan cerita pendek romantis dan imajiner, tapi juga bisa membuat Anda sembunyi di balik selimut. Beberapa cerita pendek tentang ketakutan dan kejiwaan bergaya misteri cocok untuk Anda yang menggemari cerita-cerita seram. Seperti Doberman, mengisahkan seorang pria misterius yang selalu membeli anjing; Foto Kusam 1956, tentang seorang cucu yang mendapat wasiat mengerikan dari kakeknya; Kasus Aneh, mengisahkan kasus kematian yang jarang terjadi. Di samping itu, Anda juga akan menemukan beberapa kisah bergaya romansa; seperti Nada Cinta, kisah cinta sepasang manusia yang dipersatukan oleh satu sebab; Kisah Martimah, kisah cinta masa lalu seorang nenek bernama Martimah.
"Lembaran kisah ini adalah bukti kerja keras kawan saya. Lincah jemarinya membentuk roncean aksara menjadi cerita. Menghabiskan ribuan detik untuk mengetik". (Sifa Pujia, penulis)
Jumat, 17 Juni 2016
COMING SOON!
Segera launching!
Kumpulan cerita pendek berjudul "Satu Malam Panjang" oleh Tegar Noorwira Dwi Pangestu.
Semoga tumbuh menjadi inspirasi bagi siapa saja yang membacanya. Buku ini tentu akan sangat berarti bagi perpustakaan Anda, yang rajin membaca, dan itulah cara terbaik melestarikan buku.
Kumpulan cerita pendek berjudul "Satu Malam Panjang" oleh Tegar Noorwira Dwi Pangestu.
Semoga tumbuh menjadi inspirasi bagi siapa saja yang membacanya. Buku ini tentu akan sangat berarti bagi perpustakaan Anda, yang rajin membaca, dan itulah cara terbaik melestarikan buku.
Minggu, 29 Mei 2016
CERPEN: Perantaraan
REYNA FAHRESHA
berjalan keluar dari gedung kampusnya sambil membaca “Dewa
Kesepian” salah
satu dari karya novelis Inggris yang benar-benar romantis. Kali ini
buku yang ia baca sama dengan keadaannya sekarang. Salah satu
mahasiswi yang paling pintar di universitas favorit di daerah
Yogyakarta ini seperti dewi kesepian.
Usia Reyna Sembilan
belas tahun. Tubuhnya tegap, warna kulitnya langsat, dan bola matanya
teduh. Semua orang menganggapnya gadis yang baik. Meskipun begitu,
selama empat tahun ia masih sendiri tanpa seorang kekasih. Semua
orang menyukainya sebagai teman. Reyna tinggal bersama kedua orang
tuanya yang sederhana, cara apa pun dilakukan oleh bapak ibunya agar
Reyna dapat meneruskan ke perguruan tinggi. Mereka sangat sayang
kepada putri semata wayangnya itu.
Ketika Reyna sedang
memasukkan novelnya kedalam tas, sebuah motor melesat cepat.
Pengemudinya baru saja keluar dari tempat parkir. Ia seorang
perempuan berambut panjang dan berwajah cantik, menyapa Reyna. Reyna
membalas dengan lambain tangan. Kemudian ia baru menyadari bahwa
perempuan itu adalah Nathalia Kardita; salah satu perempuan tercantik
di kampus. Kakinya mungil, halus, bola matanya memancar dan kelihatan
segar. Mengingat nama Nathalia, membuat hati Reyna semakin tertusuk.
Nathalia banyak dikagumi. Tidak sedikit yang terang-terangnya
menyatakan cinta bahkan mengajaknya kencan. Sangat mudah bagi
Nathalia mendapatkan cinta daripada Reyna. Terlebih lagi Nathalia
adalah teman dekat Reyna; selain Dhea Akmalia yang juga salah satu
teman akrabnya.
Reyna terus berjalan
dan bertemu dengan Dhea. Mereka berjalan bersama. Sebelum mereka
mengambil jalan yang berbeda, mereka berhenti sebentar.
“Rey, sudah tiga
kali aku melihat pemuda itu duduk di sana,” kata Dhea.
“Aku juga sering
melihatnya. Bahkan lebih sering daripada kamu,” kata Reyna, “kami
bahkan sempat saling menatap.”
Mereka berpisah di
pinggir jalan. Dhea dijemput sedangkan Reyna menaiki angkutan umum.
Mereka tidak menyadari betapa pentingya pemuda itu selalu datang di
halaman kampus mereka. Mereka hanya bisa menebak bahwa pemuda itu
besok pasti akan datang lagi. Namun terbesit pula dipikiran mereka
bahwa pemuda itu aneh. Kurang waras. Atau mungkin berniat buruk.
Meskipun dari jauh tampak dewasa dan terpelajar; ia duduk penuh
penantian. Ya, penantian. Mungkin ia menanti seseorang.
***
Dugaan Reyna salah.
Hari berikutnya pemuda itu tidak terlihat lagi didepan kampus.
Dari belakang Dhea
menepuk bahu Reyna. “Rey, Jangan cepat-cepat dong jalannya.”
“Oh,” Reyna
menoleh ke arah Dhea. “Tumben orang itu tidak nongkrong lagi, “kata
Reyna setelah Dhea berjalan didekatnya.
“Mungkin karena
sudah memberikan surat ini,” Dhea menjulurkan lipatan kertas kepada
Reyna.
“Surat?” Reyna
heran. “Orang itu memberikan surat? Untuk siapa dan sejak kapan ia
memberikan surat?”
“Kemarin. Setelah
kamu pulang aku masih menunggu jemputan. Laki-laki itu datang
menghampiriku dan memberikan surat ini. Surat ini untukmu.”
“Untukku?”
sesaat jantung Reyna berdegup.
“Ya, untukmu. Dia
menyuruhku untuk memberikan surat ini.” Dhea menarik lengan Reyna
kemudian meletakkan surat itu ke telapak tangannya. “Tadi malam aku
ingin sekali memberitahumu lewat SMS, tapi seharian aku belum punya
pulsa. Surat ini belum aku baca.”
Reyna terbengong. Ia
masih tidak percaya surat itu ditujukan untuknya.
“Bacalah.”
Lanjut Dhea.
Perlahan-lahan Reyna
membaca surat itu. Isinya singkat :
Untuk perempuan
yang beberapa kali sempat menatapku,
Ada beberapa hal
yang ingin aku katakan kepadamu. Meski bagimu mungkin tidak terlalu
penting namun ini sangatlah berarti untukku. Tolonglah. Temui aku
besok sepulang dari kuliah, aku ada di halaman fakultas kedokteran.
Dari Ardian
“Bagaimana
menurutmu?” tanya Reyna.
“Itu terserah dari
hati nuranimu,” jawab Dhea. “Dia memberikan surat itu kemarin,
berarti hari inilah kamu harus menemuinya. Mungkin dia sudah
menunggu.”
Setelah diam sejenak
Reyna mulai memutuskan, “Tidak! Aku tidak akan menemuinya. tidak
ada waktu. Masih banyak yang lebih penting.”
“Aku setuju!
Jangan mudah percaya kepada laki-laki yang belum kita kenal.” Kata
Dhea sependapat.
Seperti biasa,
sesampainya di pinggir jalan Reyna dan Dhea berpisah. Mereka pulang
tanpa mempedulikan si pemuda yang masih sabar menunggu.
Sore itu, Reyna
membaca buku di kamarnya. Pikirannya kacau ketika teringat surat yang
diberikan Dhea kepadanya. Bukan karena tertarik dengan pemuda yang
belum jelas itu. Tapi karena ia adalah seorang perempuan yang berjiwa
besar dan selalu mengikuti nurani. Sebenarnya ia berdusta dengan
perasaanya sendiri. Reyna mengambil surat itu, kemudian dibacanya
lagi. Apakah dia benar-benar membutuhkan pertolongan? Mana mungkin
pemuda itu menggagumiku? Masih banyak gadis-gadis cantik di kampusku.
Pikirnya “Aku terlalu berkhayal jika orang itu ingin mengajakku
berkenalan,” katanya. Tapi jika dugaannya memang benar, ia merasa
bersaalah membiarkan pemuda itu menunggunya tanpa hasil. Seandainya
Reyna berada di posisi orang itu, pasti sangat tersiksa. Belum lagi,
jika orang itu kesepian seperti dirinya. Pikiran-pikiran seperti itu
telah menghantuinya.
Reyna menyesal. Dia
kecewa menolak menemui laki-laki itu. Tapi sudah terlambat,
laki-laki itu tidak mungkin datang lagi. Pikirnya.
***
Siang sangat terik,
Reyna menunggu datangnya angkutan umum. Dari kejauhan dilihatnya Dhea
berjalan tergesa-gesa ke arahnya. Tidak biasanya Dhea terburu-buru
seperti itu.
Bus yang ditunggu
Reyna datang, baru saja Reyna hendak menghentikan bus, terdengar
teriakan Dhea memanggilnya. Reyna menoleh. Selanjutnya bus itu pergi
meninggalkannya, Reyna tidak jadi naik.
“Untung kamu belum
naik,” kata Dhea setelah mendekati Reyna. Nafasnya sedikit
tersenggal-senggal. Keringat menetes dikedua pipinya yang bulat.
Kemudian ia menyibakkan rambutnya yang ikal.
“Ada apa?” tanya
Reyna.
“Orang itu datang.
Dia menyuruhku untuk memanggilmu.”
“Yang benar saja?”
Reyna terkejut.
Dhea memandang Reyna
penuh selidik. “Kamu kok jadi antusias gitu?”
“Aku menyesal,
Dhe. Dan kukira aku sudah terlambat.”
“Berarti sekarang
kamu mau menemuinya?”
“Ya. Kecuali kalau
kamu tidak mau mengantarkanku.”
“Maaf Rey, aku
tidak bisa menemanimu. Sebentar lagi cowokku datang menjemputku.”
“Gimana dong?”
Reyna bimbang.
“Dia menunggumu di
halaman fakultas kedokteran dan di sana masih banyak mahasiswa yang
belum pulang. Dia tidak mungkin berani berbuat macam-macam.”
“Tapi—”
“Cowokku sudah
datang.” Sahut Dhea. “Daa, Reyna! Aku pulang duluan—”
Dhea pergi meninggalkan Reyna yang masih berdiri bimbang.
Apakah aku tega
membiarkan pemuda itu kembali menungguku? Tidak! aku harus
menemuinya. Pikir Reyna. Tiba-tiba hatinya berdebar-debar, sudah lama
ia tidak berhadapan dengan seorang laki-laki. Kali ini ia harus
menemui laki-laki itu seorang diri. Dengan langkah perlahan-lahan
diiringi dengan debaran jantungnya yang semakin kencang, ia berbalik
menuju kampusnya. Menuju fakultas kedokteran.
“Mana dia? Yang
mana orangnya?” sesampainya di tempat yang dituju Reyna bingung. Di
halaman kampus kedokteran terlihat beberpa laki-laki sedang duduk.
“Selamat siang,”
seorang pemuda menyapa Reyna dari arah samping. Ucapannya lembut,
sopan, tapi kaku.
Hati Reyna semakin
berdebar menatap sorotan mata pemuda itu, tajam dan dingin.
Sebelumnya, Reyna tidak pernah menatapnya dalam jarak sedekat ini.
Reyna terpaku. Lalu menatap orang itu mulai dari kepala sampai ke
ujung kaki. Seperti ada getaran aneh yang seakan-akan membiusnya.
Apakah ini cinta dalam pandangan pertama? Cepat-cepat ia buang
pikiran semacam itu. . Reyna mengira pertemuan ini hanyalah mimpi.
Apa tujuan laki-laki ini? Berbagai pertanyaan mulai bermunculan
dibenaknya.
Kumis tipis membuat
laki-laki itu tampak lebih dewasa. Senyumannya ragu-ragu dan sedikit
dipadu dengan lesung pipi.
Melihat Reyna
terbengong, laki-laki itu langsung memperkenalkan diri. “Namaku
Ardian, terima kasih kamu datang menemui panggilanku.”
Meskipun dari luar
laki-laki ini tampak baik, Reyna tidak akan mudah percaya begitu
saja. Keadaan yang kaku ini membuat Ardian bingung, kata-kata apa
yang harus ia ucapkan.
“Mari kita duduk
di sana,” ajak Ardian sambil menunjukkan telunjuk jarinya ke arah
kursi panjang yang berada di bawah pohon.
Reyna hanya
menggangguk kemudian ia mengikuti Ardian. Reyna tidak ingin banyak
bicara, Ardianlah yang mempunyai keperluan, bukan Reyna. Reyna duduk
agak jauh. Ada sedikit rasa takut. Tapi Reyna merasa nyaman dan teduh
duduk di bawah pohon itu. Ia menunggu Ardian mengawali pembicaraan.
Sesaat angin berhembus, seakan mengisyaratkan agar Ardian lekas
mengucapkan sesuatu.
“Kamu belum
menyebutkan siapa namamu?” Tanya Ardian.
“Tidak. Aku tidak
akan menyebutkan siapa namaku. Cukup kita bertemu di sini dan lekas
katakan apa maumu?”
“Ok,” Ardian
mengganguk.
Reyna melirikkan
matanya ke arah Ardian, wajahnya seperti memancarkan sesuatu yang
membuat Reyna maerasa iba kepadanya. Tak seharusnya ia berucap
seperti itu kepada Ardian. Ia sungguh berdusta dengan nuraninya. Ia
simpatik dengan laki-laki disebelahnya itu, tapi berdusta dengan
perasaannya.
“Kamu temannya
Nathalia kan?” tanya Ardian. “Nathalia perempuan tercantik di
fakultas ekonomi.”
Deg
Hati Reyna sesaat
berdegup. Laki-laki di sampingnya menanyakan Nathalia, bukan dirinya.
Sebenarnya siapa yang dicari laki-laki itu?
“Ya.” Jawab
Reyna dengan singkat.
“Aku hanya ingin
minta tolong kepadamu,” kata Ardian bernada memohon. “Aku bingung
dari mana aku harus memulai bercerita, yang jelas aku sering melihat
Nathalia dan aku jatuh cinta kepadanya.”
Reyna sudah menduga,
mana mungkin laki-laki itu mengaguminya. Ia menyukai Nathalia, bukan
dirinya. Terlintas dibenak Reyna bahwa semua laki-laki mudah terpikat
melihat gadis secantik Nathalia. Namun ia salah besar mengganggap
Ardian seperti itu.
“Aku harus
mengetahui isinya sebelum membuka, mengenali lebih jauh sebelum
benar-benar mencintai,” kata Ardian, “Aku ingin mengenal Nathalia
lebih dekat. Tapi Nathalia tidak pernah merespon. Menurutmu apa yang
harus aku lakukan? Kita harus berteman—ya,
harus berteman—”
Ardian melanjutkan,
“Aku sering mengamatimu, hanya kamulah yang sering bersama Nathalia
dibandingkan dengan temanmu yang berambut ikal itu.”
“Sekarang aku
jarang berdua dengan Nathalia.”
“Tapi hanya
kamulah satu-satunya harapanku—harapan
agar aku bisa mengenal dan mendekati Nathalia. Ini nomorku,” Ardian
memberikan kartu nama kepada Reyna.
“Aku harus
pulang.” kata Reyna setelah memasukkan kartu nama itu ke dalam tas.
“Perlu aku antar?”
“Tidak perlu.”
“Kutunggu kabar
darimu.”
Namun Reyna tidak
menjawabnya. Ia segera berlalu meninggalkan Ardian.
“Aku harap kita
bisa bertemu lagi.” kata Ardian lirih.
***
Reyna Fahresha hanya
dijadikan peranta cinta. Ia masih bimbang apa yang harus
dilakukannya? Ia tidak pernah menghubungi Ardian, tetapi hari-harinya
hanya dihabiskan untuk berpikir. Hati kecilnya beranggapan bahwa
Ardian hanya memanfaatkannya, dan itu pemikiran yang jauh dari jiwa
besarnya. Melihat sorotan mata Ardian, ia yakin laki-laki itu
benar-benar meminta pertolongan, bukan karena ada maksud lain.
Baginya, Ardian adalah salah satu ujian dan cobaan berat untuk jiwa
besarnya yang selalu menjunjung tinggi kebenaran. Jika Reyna memang
seorang perempuan yang baik, ia harus menolong tanpa mengharapkan
imbalan apa pun. Sikap itulah yang membuatnya banyak disukai teman.
Sudah lama Ardian
menunggu, namun ponselnya tidak pernah berbunyi. Ia memutuskan untuk
mencari Reyna. Dan akhirnya mereka berdua kembali bertemu. Begitulah
awal dari persahabatan mereka. Dua kali seminggu mereka bertemu di
kampus, terkadang di warung makan. Selain membahas Nathalia, mereka
mulai membicarakan diri sendiri. Reyna menceritakan kehidupannya yang
sederhana, kemudian Ardian juga menceritakan kisah hidupannya.
Pada mulanya Reyna
mengira Ardian adalah mahasiswa fakultas kedokteran, namun ternyata
ia bukan seorang mahasiswa. Ia hanya mempunyai hubungan bisnis dengan
seorang dosen dari fakultas itu. Bermula Dari bisnis itulah Ardian
sering melihat Nathalia dan tahu nama gadis itu. Berbagai cara ia
lakukan agar bisa mendekati Nathalia, namun ia selalu gagal, hingga
pada akhirnya ia menemukan cara lain, yaitu meminta pertolongan
kepada Reyna.
“Bisnis apa yang
sedang kau jalani?” tanya Reyna. Mereka makan ronde
di pinggir jalan Alun-alun Utara.
“Memahat patung.”
“Memahat patung?”
Reyna hampir tidak percaya. Seumur-umur baru sekarang ia mempunyai
teman yang berprofesi sebagai pemahat patung.
“Ya, pemahat
patung,” jawab Ardian. “Aku suka bekerja yang sesuai dengan
kemampuanku. Aku sudah beberapa kali memahat patung dan aku sempat
memamerkannya.”
“Di mana kamu
memamerkannya?”
“Ke mana pun ada
pameran, kutitipkan hasil karya patungku.” Jawab Ardian sambil
meletakkan mangkuk rondenya
yang sudah habis. “Aku belum mempunyai tempat sendiri untuk
memamerkan hasil karyaku. Sekarang aku sedang berencana membuat
ruangan sendiri untuk hasil karyaku.”
“Yakinlah, kamu
pasti bisa.”
“Aku sudah
berusaha, tapi rasanya sangat sulit. Selama ini hanya satu orang saja
yang berminat dengan hasil karyaku. Dia adalah Pak Muzaky, seorang
dosen fakultas kedokteran. Dia bukan sekedar berminat, tapi banyak
memberikan insiprasi untuk pembuatan patung-patungku. Beliau juga
seorang psikolog, karena itulah patungku dapat berkarakter dan lebih
hidup. Namun sampai saat ini usahaku belum dikatakan seratus persen
berhasil.”
“Jika hanya
membicarakan mimpi, kamu tidak akan melihat kenyataan. Tetapi jika
berusaha mengejar mimpi, kamu dapat melihat masa depan.”
“Kamu benar Rey,
tapi aku belum bisa mendapatkan inspirasi untuk bentuk patung yang
akan aku pahat. Karya itu harus benar-benar terkenal.
Ee—ngomong-ngomong
setelah selesai kuliah kamu mau bekerja di mana?”
“Entahlah. Yang
terpenting aku harus menyelesaikan kuliahku terlebih dahulu. Aku
tidak mau menyia-nyiakan perjuangan kedua orang tuaku.”
“Lalu kenapa kamu
tidak melakukan pekerjaan yang kamu sukai disamping kuliahmu itu?”
“Karena sampai
saat ini aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan. Kecuali sering
membaca buku.” Jawabnya sambil tersenyum.
Tak terasa hari
semakin petang, mereka pulang setelah membicarakan pribadi mereka
masing-masing. Di hari lain Ardian kembali membahas masalah Nathalia,
gadis cantik yang didambakannya namun sangat sulit didekati.
“Kenapa Nathalia
selalu menghindar ketika aku hendak mendekatinya? Pasti kamu tahu
penyebabnya?” tanya Ardian.
“Aku tidak tahu.
Perempuan terkadang sulit ditebak,” jawab Reyna, “Namun perempuan
bisa membuat laki-laki takluk dan melakukan apa saja demi perempuan
itu.”
“Ya, aku harus
melakukan apa pun demi mendapatkan Nathalia. Tapi aku tahu, kamu
tidak hanya berada dipihakku, kamu juga berada dipihak Nathalia. Apa
saja yang sudah dikatakan Nathalia kepadamu?”
Pertanyaan ini
membuat Reyna bingung. Nathalia memang benar-benar teman dekatnya.
Banyak hal yang dikatakan Nathalia, termasuk menyuruh Reyna
mendiamkan Ardian. Untuk tidak mempedulikannya. Tapi ia tidak sanggup
mengatakan ini kepada Ardian. Karena ia jatuh cinta kepada Ardian.
Menyukainya sejak pertama kali melihatnya berdiri dihadapannya. Tapi
Reyna tidak mungkin bisa mengungkapkan perasaannya itu, bukan karena
takut Ardian tidak membalas cintanya, Reyna hanya ingin Ardian
bahagia bersama Nathalia, karena dialah gadis yang dicintai Ardian.
Ia menuruti kehendak hati nuraninya, kesucian hatinya membuatnya rela
meskipun hatinya menderita. Ia harus membuang perasaan itu jauh-jauh.
“Apa pun yang
dikatakan Nathalia kepadaku kamu tidak perlu tahu,” jawab Reyna.
“Aku sudah berusaha keras membujuknya, tapi dia tetap tidak mau
menemuimu.”
“Lalu apa
penyebabnya?” Ardian hampir putus asa.
“Aku akan berusaha
sekali lagi mempertemukanmu dengan Nathalia, kemudian tanyakan
sendiri kepada Nathalia apa penyebabnya.”
Ardian tersenyum
lalu mengucapkan terima kasih.
“Setelah aku
berhasil mempertemukanmu dengan Nathalia, jangan temui aku lagi.”
“Kenapa? Kenapa
begitu?” Ardian heran.
“Karena aku harus
berusaha, agar kamu juga berusaha. Itulah jalan terbaik agar kamu
bisa memiliki Nathalia.”
Ardian tidak
mengerti maksud ucapan Reyna. Kemudian Reyna kembali berkata :
“Seperti yang kamu katakan tadi, kamu harus melakukan apapun demi
mendapatkan Nathalia. Kamu harus bekerja keras! Aku percaya kamu
mampu.” Setelah berkata demikian Reyna pergi meninggalkan Ardian.
Ardian tidak begitu
mengerti, apa maksud Reyna. Ia melarang Ardian untuk menemuinya lagi.
Berarti pertemanan mereka putus. Sangat disayangkan. Tapi Ardian
yakin, Reyna tahu tentang Nathalia, kenapa wanita cantik itu tidak
mau menemuinya. Ada sesuatu yang membuat Reyna enggan mengaku, ia tak
enak hati kepada Ardian. Bukan itu saja, ia tak ingin melihat
seseorang yang dicintainya kecewa, biarlah suatu saat nanti Ardian
tahu sendiri tentang Nathalia.
***
Sebulan kemudian,
Ardian sesekali datang ke fakultas ekonomi tempat di mana Reyna
belajar. Namun Reyna benar-benar tidak dapat ditemui, bahkan seperti
menghilang. Ardian tidak pernah melihat Reyna lagi. Reyna benar-benar
menjauh dari Ardian. Tanpa Reyna, harapannya untuk memiliki Nathalia
pun ikut musnah. Ia sedih.
Dalam keputus
asaanya, Ardian duduk lesu di bawah pohon, tempat pertama kalinya ia
duduk berdua dengan Reyna. Ia menundukkan kepala ke bawah, kemudian
mendengar langkah kaki yang semakin mendekat. Ia tidak mempedulikan
suara itu, mungkin hanya suara langkah kaki seorang mahasiswa yang
tidak dikenalnya. Langkah itu berhenti lalu duduk disebelahnya.
Ardian mengangkat kepala melihat orang yang duduk disebelahnya. Maka
terkejutlah ia melihat orang itu yang ternyata adalah NATHALIA.
Ardian menjadi salah
tingkah. Gugup. Ia benar-benar tidak percaya. Ini seperti mimpi.
Gadis anggun seumuran Reyna itu seperti bintang yang bersinar terang.
Berkilau seperti awan yang tertimpa cahaya matahari. Kamu cantik,
pikir Ardian.
“Aku datang demi
Reyna.” kata Nathalia. “Aku tidak menyangka Reyna memohon dengan
amat sangat kepadaku, agar aku menemuimu.” Baru pertama kali ini
Ardian mendengarkan suara Nathalia yang begitu lembut.
Ardian terharu,
Reyna memang benar-benar gadis berjiwa besar. “Bagaimana kabar
Reyna?”
“Dia melarangku
mengatakan apa pun tentang dirinya, sekarang katakanlah apa perlumu?”
“Aku—bolehkah
aku mengenalmu lebih dekat. Jujur, sejak pertama kali aku melihatmu
aku simpatik.”
“Sebenarnya bukan
karena aku tidak mau, Ayahku pasti tidak menyetujui hubungan kita.
Ayahku tegas dan tidak asal memilih, ia menginginkan kebahagiaan
putirnya. Ia menginginkan aku mempunyai seorang kekasih yang bertitel
dan mapan.”
“Kamu enggan
kudekati hanya gara-gara berpikiran sejauh itu? Bukannya aku masih
bisa menjadi teman atau sahabatmu, bukan kekasih?”
“Tapi kamu sudah
mencintaiku, apa bedanya kamu menjadi sahabatku bila rasa cinta itu
masih terus ada dihatimu.”
Ardian diam. Ia
tidak ingin banyak bicara lagi. Ia sudah tahu apa alasannya. Sekarang
yang bisa ia lakukan hanyalah bekerja keras, seperti apa yang pernah
dikatakan oleh Reyna.
***
Setahun penuh Ardian
hidup sendiri tanpa seorang kekasih. Hari-harinya hanya digunakan
untuk memahat patung. Ia meninggalkan keluarga dan kota kelahirannya.
Kini ia hidup bersama kakeknya di Jakarta; yang adalah salah satu
seniman pemahat patung.
Perjuangan Ardian
yang sangat panjang di Jakarta telah membuahkan hasil. Karya-karyanya
mulai banyak dikagumi. Ia semakin tenar, dan salah satu patungnya
yang paling terkenal ia beri nama “Malaikat
Kesepian”.
Mulai dari bentuk patung, sampai nama yang diberikan untuk patung
itu terinspirasi dari novel terbaru yang berjudul “Sepi
Tanpa Akhir”; novel
best seller yang sempat dicetak ulang beberapa kali
dan ditulis
oleh penulis muda yang bernama “Resha EY”. Novel ini menceritakan
kisah seorang gadis yang benar-benar mengalami kesepian disepanjang
hidupnya. Gadis ini pernah mencintai seorang laki-laki, tapi demi
laki-laki yang dicintainya, ia rela hidup sendiri demi mempersatukan
laki-laki itu dengan seorang perempuan yang dicintainya.
Patung Malaikat
Kesepian karya
Ardian ini dipahat dengan hati-hati, penuh semangat, dan termasuk
patung terbaik tahun itu di Indonesia. Patung Malaikat
Kesepian
telah mengubah hidup Ardian menjadi lebih baik dan mapan. Banyak
orang yang berbondong-bondong datang ke ruang pamerannya untuk
melihat patung itu. Banyak yang ingin membeli patung itu, namun
Ardian tidak berniat menjualnya. Patung itu menggambarkan seorang
gadis cantik berambut panjang dengan pakaian berwarna putih bak
bidadari. Namun dibalik kecantikannya menyimpan sebuah misteri dan
kesedihan.
Hidup kaya raya
membuat Ardian menjadi bosan dan semakin kesepian. Apa pun yang ia
inginkan bisa terwujud, kecuali kasih sayang dari seorang kekasih. Ia
rindu kepada seorang gadis yang pernah menjadi perantaraan cintanya,
dia adalah Reyna. Reyna yang selalu ia ingat, bukan Nathalia. Reyna
seorang gadis yang berjiwa besar, pernah menolongnya dengan ketulusan
hatinya.
Untuk apa Ardian
kembali menginginkan Nathalia, jika Nathalia dan ayahnya hanya
mengharapkan kekayaannya yang sekarang ini? Mereka mencintai harta
dan bukan mencintai Ardian. Sedangkan Reyna selalu menemaninya disaat
Ardian dalam keadaan apa pun. Ia tahu betapa tiada duanya Reyna,
hatinya sangat baik. Ardian benar-benar mencintai Reyna. Kini seorang
laki-laki segagah Ardian menangis. Di mana sekarang Reyna berada? Ia
harus kembali ke Yogyakarta demi mencari Reyna. Bahkan jika tidak
bertemu, sampai ke ujung dunia sekalipun akan terus dicarinya.
***
Hari minggu yang
cerah di kota Jakarta. Ardian keluar dari ruang pameran yang tidak
jauh dari rumah kakeknya membawa tas besar. Sebelum masuk ke dalam
mobil, seorang pembantu datang menghampirinya.
“Tuan, ada seorang
perempuan yang ingin melihat patung,” kata pembantu separuh baya.
“Perempuan itu menunggu di luar gerbang.”
“Pak Sholeh,
bilang saja saat ini aku tidak bisa menerima tamu. Aku mau pulang ke
Yogyakarta.”
“Tapi perempuan
itu memohon.”
Ardian berpikir
sejenak. “Ya sudah, suruh dia masuk!” katanya geram. Baru kali
ini Ardian sedikit jengkel kepada tamunya.
Ketika perempuan itu
dipersilakan masuk oleh Pak Sholeh, Ardian sudah menunggu diruang
pameran.
“Cepat Mbak, masuk
saja,” kata Pak Sholeh, “Tuan saya tidak punya banyak waktu.”
Gadis itu hanya
tersenyum dan menggangguk, kemudian ia masuk melihat-lihat berbagai
macam patung unik dengan pahatan rapi. Kemudian ia melihat ke arah
patung yang paling ujung. Patung itu terlihat menonjol dibandingkan
dengan patung-patung yang lain. Patung seorang gadis yang sedang
duduk dengan posisi kedua tangan mendekap kedua kakinya. Wajah patung
yang anggun namun penuh kemisteriusan ini tidak lain adalah patung
Malaikat
Kesepian.
Gadis itu kagum melihat keindahan patung itu.
Beberapa saat
kemudian, gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah Ardian yang
sedang duduk dikursi menundukkan kepala.
“Permisi,” suara
gadis itu terdengar lembut. “Apakah benar patung terkenal ini
dibuat oleh seorang laki-laki bernama Ardian?” tanya gadis itu.
“Benar,” jawab
Ardian sambil mengangkat kepalanya. Ia hampir saja menjerit ketika
melihat wajah gadis itu.
“Reyna!” Ardian
bergegas memeluk gadis itu erat-erat.
Reyna menitikkan air
mata sambil berucap, “Kamu tidak mungkin bisa memahat patung
seindah itu kecuali kamu pernah melihat dan membaca karya novelku.”
“Maksudmu novel
Sepi
Tanpa Akhir
adalah karyamu? Tapi nama pengarang itu adalah Resha EY?”
“Itu nama penaku.”
“Apa kamu sengaja
berjuang keras menjadi seorang penulis agar aku dapat terinspirasi
dari karya novelmu?”
“Ya, ingatkah kamu
dengan kalimat yang pernah aku ucapkan? ‘Karena
aku harus berusaha, agar kamu juga berusaha. Itulah jalan terbaik
agar kamu bisa memiliki Nathalia.’
Dan kamu pasti sudah memahami kisah didalam novelku yang menceritakan
tentang diriku sendiri.” Reyna terdiam sejenak, kemudian ia
melanjutkan, “Kamu sudah menjadi orang besar, temuilah Nathalia,”
sambil menahan
tangis Reyna pergi meninggalkan Ardian.
Ardian baru
menyadari; kisah novel seorang gadis yang rela kesepian demi seorang
laki-laki yang dicintainya itu ternyata adalah Reyna.
“Tunggu!” Ardian
menghentikan langkah Reyna, kemudian ia genggam kedua telapak
tangannya. “Kamu jangan melukai dirimu sendiri, sesungguhnya aku
juga mencintaimu—
mencintaimu, Reyna. Jangan pergi, aku tidak bisa hidup tanpamu.”
“Hari-hariku
kuhabiskan untuk bekerja keras,” lanjut Ardian, “Selama ini aku
juga kesepian, seperti dirimu. Tahukah kamu, dua jiwa yang kesepian
kini telah dipersatukan. Kamu bukan lagi perantara cintaku, kamu
sudah menjadi bagian dari jiwaku. Maafkan aku, maafkan aku telah
membuatmu menderita dalam kesendirian, andai saja dulu aku menyadari
bahwa kamulah kekasih hatiku—”
“Tak banyak yang
dapat aku katakan,” kata Reyna, “Aku hanya dapat mengatakan,
bahwa aku juga mencintaimu. Sungguh mencintaimu.” Tampak
butiran-butiran bening dikedua bola mata Reyna.
Pasangan yang
bahagia. Penuh kasih. Dan harmonis.
_Selesai_ (2012)
CERPEN: Jangan Bunuh Naga Itu
Sang surya menyinari
rerumputan hijau di halaman rumah. Terdapat pula air mancur yang
keluar dari mulut patung naga. Pohon-pohon dan bunga-bunga tumbuh
begitu indah seperti negeri dongeng. Di tempat itulah dua orang anak
saling bercanda tawa sambil berlari ke sana kemari.
“Aduh, capek
Putri!” mereka duduk di bawah pohon rindang.
“Aku belum capek
Kyung, ayo sekarang kita main petak umpet!” anak kecil yang
dipanggil putri ini berdiri, matanya menyipit terkena sinar matahari.
“Lho? Hwa kok
panggil aku Kyung sih? Panggil aku pangeran dong, aku sudah panggil
kau putri.”
“Panggil aku Putri
Naga saja.” Han Hye Hwa Tersenyum lebar.
“Kenapa putri
naga? Naga itu menakutkan.”
“Siapa bilang naga
menakutkan. Kata ayah dan ibuku, naga adalah dewa penolong. Kalau aku
jadi naga, aku bisa terbang di langit dan Kyung tidak bisa mengejarku
lagi. Kalau Kyung Dalam kesulitan aku juga bisa menolong.”
Tiba-tiba Han Je
Kyung berdiri dan berteriak mengagetkan. Hwa Ketakutan; ia lari.
“Mau kemana kau
Hwa? Akan aku kejar ke mana pun kau lari!” Teriak Kyung penuh
canda. “Kalau kau jadi naga, kau jangan penakut Hwa!” Kyung
Tertawa mengejek.
✳ ✳ ✳
Han Je Kyung yang
sudah berumur 26 tahun tersenyum mengingat masa-masa kecilnya bersama
Han Hye Hwa yang sekarang menjadi istrinya. Pernikahan mereka
berjalan dengan baik selama tiga tahun. Namun akhir-akhir ini Kyung
merasa ada yang aneh dengan istrinya, ia tahu jika istrinya telah
menyembunyikan sesuatu darinya.
“Aku mencintaimu
Hwa,” Kata Kyung dalam hati. Ia melihat istrinya sedang tidur pulas
di ranjang. Kemudian ia membuka jendela kamarnya, bintang bertabur
dengan sangat indah, istana yang disinggahi Kyung dan Hwa sangat
besar, mempunyai lima lantai. Kamar mereka berada di lantai lima.
Tiba-tiba Kyung
mendengar suara istrinya menguap, ia menoleh ke arahnya istrinya yang
duduk di ranjang.
“Kau belum tidur
Kyung? Apa yang sedang kau pikirkan?”
“Aku memikirkanmu
Hwa.”
“Memikirkanku?”
Han Je Kyung duduk
di dekat istrinya, lalu menjawab, “Ya, memikirkanmu. Aku tahu kau
telah menyembunyikan sesuatu dariku. Tak sepantasnya kau lakukan ini
pada suamimu sendiri. Katakanlahlah Sayang.” Hwa tidak berkata satu
patah kata pun. Maka Kyung melanjutkan, “Tubuhmu sekarang kurus,
kau sering demam dan menggigil, pasti kau sakit parah Hwa. Tapi kau
tak mau berobat kepada tabib.”
“Aku tidak apa-apa
Kyung, percayalah.” Hwa menggenggam erat jari-jari suaminya. “Ayo,
sekarang kita tidur.” Lanjutnya.
✳ ✳ ✳
“Katakan padaku
Kim Soo Wook, apakah kau tahu penyakit yang diderita istriku?”
tanya Kyung kepada sang penasehat tua kerajaan. Mereka duduk di
balairung.
“Hamba tahu jika
istri Pangeran Kyung menderita penyakit, tapi hamba tidak tahu
penyakit apa yang diderita istri Pangeran. Sebaiknya Pangeran
memanggil seorang tabib.”
“Istriku merasa
kuat dengan penyakitnya, dia hanya tidak ingin aku khawatir. Tapi
caranya salah, aku mencintainya dan tidak ingin dia sakit. Tolong
suruh pengawal untuk memanggilkan tabib, Soo Wook.”
“Baiklah
Pangeran.”
Tabib yang telah
diundang diantarkan Kim Soo Wook masuk ke dalam kamar Han Hye Hwa
yang sedang terbaring lemah di ranjang. Setelah memeriksa kondisi
Hwa, sang tabib melaporkan kepada Kyung yang sedari tadi menunggu di
luar kamar.
“Penyakit istri
Pangeran Kyung sangat parah.” Kata tabib.
“Kau jangan bicara
sembarangan!” hardik Kyung yang sedikit tertahan, karena ia takut
istrinya mendengar. “Apa penyakit yang diderita istriku?”
“Penyakit itu
disebabkan oleh bakteri yang dibawa oleh tikus dan kucing. Bakteri
ini sangat mematikan ketika menular kepada sesama manusia. Gejalanya
berupa demam, menggigil, lemah, dan pembengkakan kelenjar getah
bening yang amat menyakitkan.”
“Oh, tidak—”
Kyung sedih mendengar penjelasan dari sang tabib.
“Apakah istri
Pangeran memelihara kucing?” tanya tabib.
“Dia tidak hanya
memelihara kucing, tetapi kucing adalah hewan kesayangannya.”
“Lebih baik jangan
biarkan istri Pangeran menyentuh kucing lagi.”
“Lalu apakah
istriku bisa sembuh?”
“Aku tidak bisa
menjawab, kerena penyakit itu telah lama dideritanya. Sepertinya
Pangeran terlambat untuk memanggil tabib seperti saya ini. Jika
penderita mendapat perawatan sejak dulu mungkin tak akan seperti
ini.”
Semenjak tabib itu
pergi dari istana, Kyung tidak bisa tenang. Ia berjalan mondar-mandir
di balairung. “Maafkan aku Hwa, aku terlalu sibuk dengan urusan
pemerintahan, hingga tak memperhatikanmu. Aku mencintaimu, tapi aku
sekarang merasa berdosa.” Tiba-tiba dipikirannya timbul sepercik
ide. Dan ide itu akan dijalankanya pada waktu malam.
✳ ✳ ✳
Malam telah tiba,
Han Hye Hwa terbangun dari tidur, ia teringat tiga kucing lucunya
yang lupa ia beri makan.
“Mana suamiku?”
Hwa tak melihat Kyung di kamarnya. Ia keluar kamar untuk mencari
kucing dan suaminya. Kemudian Hwa menghentikan langkah ketika melihat
suaminya berlatih pedang di luar istana.
“Suamiku!”
teriak Hwa.
“Oh, kenapa kau
bangun malam-malam?” Kyung menghentikan latihannya.
“Aku mencari
kucing-kucingku. Apakah kau tahu di mana mereka?”
“Aku tidak tahu,
dari tadi aku tidak melihatnya. Mungkin sedang mencari tikus, karena
kau lupa memberi makan untuknya.”
Raut wajah Hwa
berubah ketika melihat pedang yang dibawa suaminya. “Apakah kau
tadi habis berkelahi?”
“Tidak, memangnya
kenapa? Kau lihat sendiri aku sedang berlatih pedang.”
“Lihatlah
pedangmu, kenapa ada bercak darah?”
Sebelum menjawab,
Kyung terlihat gugup. “Ini—bekas
darah rusa Sayang. Tadi pagi aku berburu bersama para pengawal.”
Setelah mendengar
penjelasan Kyung, Hwa mencari kucingnya di area taman. Tapi tak
pernah menemukan kucing-kucing itu. Ia menangisi kucingnya yang telah
hilang.
Di sisi lain, Han Je
Kyung sangat tersiksa batinnya, melihat kesedihan dan tangisan
istrinya. Sebenarnya Kyunglah yang telah membunuh ketiga kucing milik
Hwa, karena ia tidak ingin melihat istrinya bersahabat dengan
binatang yang telah membuat istrinya menderita penyakit.
Namun usaha yang
dilakukan Kyung sia-sia. Beberapa minggu setelah itu ia hanya bisa
menangisi kepergian istrinya. Han Hye Hwa telah meninggal.
✳ ✳ ✳
Han Je Kyung pernah
berjanji kepada Han Hye Hwa akan selalu setia walaupun maut
memisahkan mereka. Oleh karena itu, Kyung yang kini sudah berumur 40
tahun masih sendiri tanpa mencari istri pengganti. Ia menjadi raja
dan berkuasa sepenuhnya setelah menggantikan ayahnya yang sudah
meninggal.
Negeri yang dipimpin
Kyung sedang mengalami kekacauan hebat. Makhluk misterius telah
membuat takut dikalangan rakyat maupun kerajaan. Makhluk itu adalah
seeokor naga bersayap yang bisa menyemburkan api dari mulutnya.
Rakyat dan para penghuni kerajaan mendesak Kyung untuk menangkap naga
yang dianggap berbahaya itu.. Mereka mengusulkan naga mengerikan itu
harus di bunuh.
“Paduka Raja, kami
semua sepakat untuk menaklukkan monster itu.” Kata Kim Hoon,
panglima perang kerajaan. “Jika tidak segera dilakukan, maka rakyat
akan memberontak pada kekuasaanmu yang dianggap lemah karena tidak
mampu menangkap seekor naga.”
“Baiklah, siapkan
pasukan perang dan kita kepung tempat persembunyiannya.” Kata
Kyung.
Kyung bersama Kim
Hoon dan pasukannya segera berangkat menuju bukit yang diduga sebagai
tempat persembunyian seekor naga. Katanya, seseorang pernah melihat
naga itu bersembunyi di gua yang berada disekitar bukit.
Kim Hoon menyuruh
tiga puluh pengawal untuk memanjat bukit, diantaranya menunggu di
bawah. Ada pula yang membuat tenda-tenda di hutan.
“Siapkan busur dan
anak panah kalian.” Kata Kyung. “Ketika naga itu keluar dari gua
seranglah dengan panah api.”
Tiba-tiba pasukan
yang memanjat bukit berteriak lantang ketika melihat seekor naga
keluar dari gua. Sebagian pengawal jatuh dari atas bukit terkena
sambaran seekor naga. Naga mendengus sambil terbang ke atas, kemudian
turun di puncak bukit. Para pasukan yang berada di bawah segera
meluncurkan panah. Sang Naga hanya diam dan mengerang tak berdaya.
Han Je Kyung yang
melihat naga itu tiba-tiba merasa iba. Dari mata naga yang menyala
merah menitikkan air mata.
“Hentikan! Jangan
serang naga itu!” Kyung berteriak lantang, akan tetapi suaranya
hanya seperti rintih hujan yang disambar kerasnya suara guntur.
Keributan yang ada di situ membuat para pengawal tidak mendengar
teriakannya. Lagi pula mereka telah dikuasi nafsu membunuh. Tanpa
henti mereka menyerang dengan cara apa pun.
Kemudian Kyung
teringat masa-masa kecilnya bersama Hwa. Ia mengingat sebuah kalimat
yang pernah diucapkan istrinya itu : “Siapa
bilang naga menakutkan. Kata ayah dan ibuku, naga adalah dewa
penolong. Kalau aku jadi naga, aku bisa terbang di langit dan Kyung
tidak bisa mengejarku lagi. Kalau Kyung Dalam kesulitan aku juga bisa
menolong.”
Mengingat kalimat
itu, Kyung menitikkan air mata. Kemudian ia mengenang kata-katanya
sendiri yang pernah diucapkannya kepada Hwa: “Kalau
kau jadi naga, kau jangan penakut Hwa!”
“Tidak! Tidak akan
kubiarkan mereka membunuh naga itu!” Kemudian Kyung berteriak lebih
keras dari sebelumnya, “Jangan bunuh naga itu! Jangan!”
Kali ini para
pengawal mendengar teriakan Kyung. Mereka menghentikan serangannya.
“Kenapa Raja? Kita
harus membunuh naga itu.” Desak Kim Hoon.
“Benar! Kita harus
membunuh naga itu!” para pengawal dan rakyat bersorak-sorai
mendukung perkataan panglima besar itu. Maka mereka melanjutkan
serangannya.
Kyung geram, merasa
tidak dianggap sebagai raja. Dengan amarah yang meluap Kyung
berteriak kepada sang naga. “Kalau kau jadi naga, kau jangan
penakut Han Hye Hwa!”
Mendengar teriakan
Han Je Kyung, naga itu tiba-tiba mengamuk. Menyerang siapa saja yang
mengganggunya. Akibatnya, banyak pengawal yang tewas. Naga itu
mengelurakan semburan api yang sangat mengerikan, banyak yang lari
karena ketakutan; tapi tidak berhasil menyelamatkan diri.
Namun pasukan yang
digerakkan oleh Kim Hoon begitu gigih. Meskipun naga itu perkasa,
luka ditubuhnya semakin membuatnya lemah. Terbangnya semakin
melambat.
Kim Hoon yang sudah
brutal, menyuruh pasukan menyerang dibagian sayapnya, agar naga itu
tergoyah keseimbangannya. Sayap sang naga akhirnya terluka parah.
Setelah mengerang kesakitan, tubuhnya jatuh di hutan dan menimpa Kim
Hoon bersama pasukan-pasukannya. Sungguh malang, mereka tewas
bagaikan keruntuhan batu gunung.
Kyung berlari
mendekat. Ia dapat merasakan betapa sakitnya binatang itu. Dilihatnya
kulitnya tercabik-cabik. Kyung mengusap air mata yang menetes dari
pipi sang naga.
“Maafkan aku—aku
tidak bisa melindungi dan menjagamu, sebagai mana aku tidak bisa
menjaga Han Hye Hwa hingga ia pergi meninggalkanku.” Kata Kyung
sedih. “Kau makhluk Tuhan seperti kami para manusia, kau juga
merasakan sakit lalu mengalami kematian. Han Hye Hwa, kau sudah
tiada, tapi kau masih hidup dikedalaman hatiku ini. Aku mencintaimu—”
Ucapan Kyung diakhiri oleh hembuskan nafas sang naga yang berat dan
hangat. Itu adalah nafas terakhirnya untuk hidup di dunia. Matanya
terpejam untuk selama-lamanya.
Daun-daun kering di
hutan berguguran, angin berhembus menerpa Han Je Kyung yang berdiri
dengan kokoh di samping naga itu. Ia kembali mengingat kebersamaannya
dengan Han Hye Hwa dari awal yang bahagia lalu diakhiri dengan
kesedihan karena kematian. Ia berpikir, apakah ia bisa kembali
mengulang masa-masa kecilnya bersama Han Hye Hwa? Dan terus
bersamanya hingga kematian tak terlalu cepat merenggut kekasihnya—
_Selesai_ (2011)
Langganan:
Postingan (Atom)