Cerpen : Foto Kusam 1956
Oleh : Tegar Noorwira D.P.
Tanggal 16 Mei 2016.
Waktu yang telah ditentukan tiba. Sekarang pukul sebelas malam, aku
masih punya waktu satu jam lagi, sebelum melakukan apa yang harus
kulakukan. Ini adalah pesan terakhir kakek yang tidak bisa kutolak;
merupakan syarat yang diberikan kakek kepadaku sebagai ahli waris
tunggal. Sebenarnya, aku merasa ngeri melakukannya; tapi beliau seorang
kakek yang perhatian dan sayang kepada cucunya. Tidak seharusnya aku
berdusta. Apa gunanya dilahirkan sebagai seorang laki-laki jika tidak
memiliki keberanian! Kini, aku masih punya waktu satu jam lagi, sebelum
melakukannya. Maka, lebih dulu kukenang hari-hari terakhirku bersama
kakek. Di meja kecil ini, di samping tempat tidurnya, kuambil foto
berbingkai kusam berukuran 10R, terukir angka tahun 1956 di atas bingkai
tersebut. Di dalam bingkai, terpampang foto masa muda kakek yang sedang
merangkul nenek. Foto itu memang buram, tapi wajah mereka tidak bisa
menyembunyikan kebahagiaan. Berseri-seri. Serasi dan saling mencintai
sepenuh hati.
Setahun yang lalu, pukul delapan malam, aku bersama
kakek menunggu KA Lodoya Malam—kelas bisnis yang akan memberangkatkan
kami menuju Stasiun Bandung Besar. Satu jam kemudian, kereta datang,
para penumpang memasuki gerbong masing-masing. Kami memasuki gerbong 13.
Meletakkan pantat di tempat duduk bernomor 5A dan 5B. Di sepanjang
perjalanan, kakek menceritakan segalanya tentang nenek. Semua yang
diceritakannya membuat air mataku berlinang. Kakek dan nenek bagaikan
dua jiwa dalam satu tubuh. Jika salah satunya dicabut dari tubuh itu,
maka sebagian yang lainnya akan kehilangan sebagian hidupnya. Itulah
yang dirasakan kakek sepeninggal nenek.
Kakek mengusap foto kusam
1956 yang ditaruhnya di atas paha. Kakek tidak mau membawa
barang-barang miliknya selain foto tersebut. “Tuhan telah memanggil
nenekmu di saat kami seharusnya berbahagia. Dihari itu adalah ulang
tahun nenekmu yang ke-40.”
“Penyakit apa yang diderita nenek?” tanyaku kala itu.
“Virus dan komplikasi,” jawab kakek, beliau tidak menoleh sedikit pun
ke arahku. Raut wajahnya yang keriput menunduk menatap foto.
Kereta berhenti di stasiun Bandung Besar sekitar pukul tujuh pagi.
Setelah menaiki angkot menuju Ciurip, sampailah kami di rumah kakek,
yang ternyata jauh dari kota, gelap, dan dikelilingi pepohonan tua. Bulu
tengkukku merinding ketika menuntun kakek memasuki gerbang rumah
tersebut. Tampak di depan kami rumah tua yang sudah berjamur. Kakek yang
sudah berusia lanjut tubuhnya kurus, lemah, gemetaran, dan berjalan
lambat; membuatku tidak betah melewati jalan setapak berbatu yang diapit
kegelapan pepohonan rimbun.
Akhirnya kami memasuki rumah tak
terawat itu. Namun, jika diperbaiki, bisa kubayangkan betapa indah dan
mewah—bahkan layak untuk ditempati. Kubantu kakek berbaring di ranjang
yang sebelumnya sudah kubersihkan. Ranjang itu menghadap ke arah jendela
berbingkai kayu lapuk. Sinar matahari pagi menyorot hangat melewati
celah-celah dedaunan yang berada di luar.
Kata Kakek, “Kamu akan menerima seluruh kekayaanku berupa rumah, uang, emas, dan barang-barang berharga milikku.”
“Lalu bagaimana dengan rumah mama yang kita tinggalkan?” tanyaku.
“Rumah itu milik kakek,” jawabnya. “Secara otomatis juga akan menjadi milikmu.”
Aku bahagia mendengarnya. Sebentar lagi aku akan menjadi orang kaya.
Tapi, setelah kakek mengucapkan sesuatu kepadaku, mengajariku sebuah
rahasia, perasaan bahagiaku tiba-tiba lenyap digantikan oleh perasaan
ngeri. Dia memberikan dua persyaratan yang terkesan membebani. Meskipun
tergolong lelaki bijaksana, kakek adalah lelaki misterius. Kata mama,
kakek sering menyepi. Menyendiri. Dan suka kepada sesuatu yang berbau
rahasia. Ia merupakan lelaki cerdas, jenius, serta memiliki imajinasi
tinggi. Meskipun mama pernah berkata terang-terangan bahwa kakek
terkadang tidak waras. Dulu saat masih muda, kakek sering ke luar negeri
mempelajari macam-macam ilmu sejarah; filologi, Palaeografi, dan yang
paling ia suka adalah teks-teks mesir kuno, termasuk hieroglif. Konon,
kakek adalah seorang alkemis; ia mempercayai bahwa logam biasa bisa
menjadi emas dengan cara pencampuran bahan kimia, bahkan menurutnya
feses pun mengandung berbagai logam dan mineral, termasuk emas dan
perak; lebih gilanya lagi, ia berpendapat bahwa tubuh manusia memiliki
kandungan emas yang ikut mengalir bersama darah. Namun, semua itu tidak
lebih menakutkan dari dua persyaratan yang harus kulakukan.
Dua
hari setelah membantunya berbaring di ranjang beliau meninggal. Wajahnya
tersenyum. Seolah-olah tahu kapan hari kematiannya tiba. Satu jam
sebelumnya, ia mengingatkan kembali akan pesan terakhirnya; diakhiri
dengan sebuah kalimat: “Aku hanya ingin menjadi orang tua sederhana
yang hidup berdua bersama nenekmu.”
Di hari itu juga, persyaratan
pertama sudah kuselesaikan dengan baik; mengawetkan jasad kakek di
ruang bawah tanah; di dekat jasad nenek yang telah diawetkan oleh
kakek—pada saat kematiannya. Kini, sudah saatnya aku melakukan
persyaratan kedua, yang harus dilakukan pada tanggal 16 Mei 2016 pukul
dua belas malam. Semua orang pasti merinding jika melihat apa yang akan
kulakukan satu jam lagi.
*READ MORE----> hanya ada di buku
kumpulan cerita pendek “Satu Malam Panjang” (pemesanan melalui inbox
Egar Noorwira Dp, tersedia/limited).
Rabu, 20 Juli 2016
Cerpen 'Gadis Dalam Ingatan'
Cerpen: Gadis Dalam Ingatan
Oleh: Tegar Noorwira D.P.
Kata mereka, kepalaku mengalami benturan keras akibat kecelakaan. Meskipun tidak fatal. Tidak menyebabkan amnesia yang parah. Ingatanku dapat kembali secara bertahap dari waktu ke waktu. Aku tidak kehilangan seluruh ingatanku. Aku masih bisa mengingat identitas diriku. Karena dukungan psikologis disertai terapi, aku bisa mengingat lingkungan sekitar; teman, dan juga saudara. Namun, satu hal yang belum bisa kuingat secara jelas; gadis yang menghiasi seisi kamarku. Mulai dari foto, nama, serta benda-benda lain yang katanya adalah kenangan manisku bersamanya.
“Ya, itu foto kenang-kenanganmu bersama Elifa,” kata adikku yang sedang melatih daya ingatku. “Kau bisa mengingatnya?”
“Belum,” jawabku. “Siapa dia?”
“Kekasihmu.”
“Di mana dia? Apakah dia tahu aku mengalami kecelakaan?”
Mendengar pertanyaan Husen, raut wajah Vanti berubah menjadi tegang. Katanya, “Aku ada janji dengan seorang teman!”
Vanti terburu-buru keluar dari kamar. Aku tahu, ada sesuatu yang disembunyikan dariku. Tapi apa? Aku duduk termangu-mangu menghadap ke jendela yang tirainya tersibak dihembus angin sore. Aku berusaha mengingat-ingat kisahku bersama Elifa. Sedikit demi sedikit, aku mulai mengingatnya. Tentang gelak tawa, berdansa, mendaki bukit, dan—apa lagi? Tiba-tiba kepalaku pusing. Begitu lemahnya kemampuanku untuk mengingat kembali kejadian yang lalu. Kurebahkan diriku di ranjang.
Sudah berapa lama aku tertidur? Kulihat jendela kamarku masih terbuka. Kini, yang terlihat adalah pemandangan malam. Bulan tidak berseri. Muram. Hawa dingin menyusup masuk. Aku bangkit dari ranjang lalu menutup jendela beserta tirainya. Terdengar suara lemah lembut memanggilku dari belakang, “Husen!” sesosok gadis masuk ke dalam kamarku, membuatku tertegun. Tidak begitu cantik namun pesonanya telah menjeratku.
“Elifa,” ujarku. “Kaukah itu?”
“Benar.”
“Apa yang telah terjadi di antara kita?”
Elifa diam. Di saat itu terdengar suara Vanti memanggil-manggil namaku. Cepat-cepat Elifa keluar bersamaan dengan masuknya Vanti.
“Tunggu, Elifa!” teriakku.
“Elifa?” Vanti bingung.
“Ya, Elifa. Kau sudah rabun?”
“Apa maksudmu?” Vanti menaikkan nada bicaranya.
“Elifa baru saja keluar saat kau masuk.”
“Aku tidak melihatnya.”
Aku terduduk lesu. Apakah aku sudah gila? Pikirku.
“Aku hanya ingin menyarankan,” Vanti menatapku iba. “Besok, pergilah berlibur untuk menyegarkan otak.”
Kuterima saran adikku. Demi memperbaiki ingatanku—aku berlibur ke tempat-tempat di mana aku pernah berdua dengan Elifa; ditemani seorang sopir pribadi yang menjadi pemandu.
“Apakah Tuan bisa mengingat sesuatu di kafe ini?” tanya sopirku. Kami duduk berdua menikmati kopi dan dihibur dengan musik romantis.
Kudengar baik-baik musik yang dilantunkan, kulihat setiap orang yang sedang berdansa, dan kuamati seluruh ruangan. Setelah itu, barulah kujawab pertanyaan sang sopir, “Di tempat ini aku pernah berdansa dengan Elifa. Dia memelukku dan mengatakan sesuatu kepadaku,” kuhentikan perkataanku, mencoba mengingat-ingatnya. “Dia mengatakan ‘aku mencintaimu, Husen, mencintaimu sepenuh hati, dan jangan pernah tinggalkan aku’ ya, dia mengatakan seperti itu kepadaku.”
Kutatap lekat-lekat wajah sopirku, “Bagaimana hubunganku dengan Elifa saat ini?”
Sang sopir gugup, “Soal itu, saya benar-benar tidak tahu.”
***
Setelah semua tempat kami kunjungi, berangsur-angsur ingatanku mulai pulih. Aku bisa mengingat hari-hari indahku bersama Elifa. Membangkitkan rasa bahagia di dadaku. Tapi ingatanku belum sepenuhnya terbuka. Kenapa aku bisa kecelakaan? Bagaimana hubunganku dengan Elifa saat ini? Aku belum bisa menjawab.
Hari-hari berikutnya Elifa selalu datang menemuiku. Tapi, setiap kali ada yang datang, ia terburu-buru pergi. Apa yang sebenarnya terjadi? Ingin sekali aku ke rumahnya, menanyakan hubungan kami. Maka, aku segera berjalan menuju kamar Vanti, menanyakan di mana Elifa tinggal. Sesampainya di ruang tengah, kuhentikan langkahku. Kulihat Vanti sedang berbicara dengan Atanto, sopir pribadiku.
“Apa saja yang kau katakan kepada kakakku?”
“Saya tidak mengatakan apa-apa.”
“Ingat, jangan katakan Elifa sudah meninggal.”
“Ya, saya mengerti,” Atanto mengangguk.
“Aku tidak mau membuatnya sedih. Aku juga tidak tega—semisal mengatakan semua ini kepadanya. Biarlah suatu saat nanti dia mengingatnya sendiri secara alami.”
Kemudian, Atanto pamit meninggalkan Vanti.
Hatiku bagaikan disambar petir mendengar apa yang mereka bicarakan. Benarkah Elifa sudah meninggal? Lalu siapa yang sering menemuiku? Tanpa berpikir panjang kutanyakan semua ini kepada Vanti. Aku harus memaksanya berkata jujur.
“Aku sudah mendengar semua pembicaraanmu,” kataku kepada Vanti. Kami duduk di sofa ruang tamu.
“Tak ada lagi yang perlu kau sembunyikan dariku,” kutatap tajam wajahnya. “Kenapa Elifa meninggal? Kenapa?”
*READ MORE----> hanya ada di buku kumpulan cerita pendek “Satu Malam Panjang” (pemesanan melalui inbox Egar Noorwira Dp, tersedia/limited).
Oleh: Tegar Noorwira D.P.
Kata mereka, kepalaku mengalami benturan keras akibat kecelakaan. Meskipun tidak fatal. Tidak menyebabkan amnesia yang parah. Ingatanku dapat kembali secara bertahap dari waktu ke waktu. Aku tidak kehilangan seluruh ingatanku. Aku masih bisa mengingat identitas diriku. Karena dukungan psikologis disertai terapi, aku bisa mengingat lingkungan sekitar; teman, dan juga saudara. Namun, satu hal yang belum bisa kuingat secara jelas; gadis yang menghiasi seisi kamarku. Mulai dari foto, nama, serta benda-benda lain yang katanya adalah kenangan manisku bersamanya.
“Ya, itu foto kenang-kenanganmu bersama Elifa,” kata adikku yang sedang melatih daya ingatku. “Kau bisa mengingatnya?”
“Belum,” jawabku. “Siapa dia?”
“Kekasihmu.”
“Di mana dia? Apakah dia tahu aku mengalami kecelakaan?”
Mendengar pertanyaan Husen, raut wajah Vanti berubah menjadi tegang. Katanya, “Aku ada janji dengan seorang teman!”
Vanti terburu-buru keluar dari kamar. Aku tahu, ada sesuatu yang disembunyikan dariku. Tapi apa? Aku duduk termangu-mangu menghadap ke jendela yang tirainya tersibak dihembus angin sore. Aku berusaha mengingat-ingat kisahku bersama Elifa. Sedikit demi sedikit, aku mulai mengingatnya. Tentang gelak tawa, berdansa, mendaki bukit, dan—apa lagi? Tiba-tiba kepalaku pusing. Begitu lemahnya kemampuanku untuk mengingat kembali kejadian yang lalu. Kurebahkan diriku di ranjang.
Sudah berapa lama aku tertidur? Kulihat jendela kamarku masih terbuka. Kini, yang terlihat adalah pemandangan malam. Bulan tidak berseri. Muram. Hawa dingin menyusup masuk. Aku bangkit dari ranjang lalu menutup jendela beserta tirainya. Terdengar suara lemah lembut memanggilku dari belakang, “Husen!” sesosok gadis masuk ke dalam kamarku, membuatku tertegun. Tidak begitu cantik namun pesonanya telah menjeratku.
“Elifa,” ujarku. “Kaukah itu?”
“Benar.”
“Apa yang telah terjadi di antara kita?”
Elifa diam. Di saat itu terdengar suara Vanti memanggil-manggil namaku. Cepat-cepat Elifa keluar bersamaan dengan masuknya Vanti.
“Tunggu, Elifa!” teriakku.
“Elifa?” Vanti bingung.
“Ya, Elifa. Kau sudah rabun?”
“Apa maksudmu?” Vanti menaikkan nada bicaranya.
“Elifa baru saja keluar saat kau masuk.”
“Aku tidak melihatnya.”
Aku terduduk lesu. Apakah aku sudah gila? Pikirku.
“Aku hanya ingin menyarankan,” Vanti menatapku iba. “Besok, pergilah berlibur untuk menyegarkan otak.”
Kuterima saran adikku. Demi memperbaiki ingatanku—aku berlibur ke tempat-tempat di mana aku pernah berdua dengan Elifa; ditemani seorang sopir pribadi yang menjadi pemandu.
“Apakah Tuan bisa mengingat sesuatu di kafe ini?” tanya sopirku. Kami duduk berdua menikmati kopi dan dihibur dengan musik romantis.
Kudengar baik-baik musik yang dilantunkan, kulihat setiap orang yang sedang berdansa, dan kuamati seluruh ruangan. Setelah itu, barulah kujawab pertanyaan sang sopir, “Di tempat ini aku pernah berdansa dengan Elifa. Dia memelukku dan mengatakan sesuatu kepadaku,” kuhentikan perkataanku, mencoba mengingat-ingatnya. “Dia mengatakan ‘aku mencintaimu, Husen, mencintaimu sepenuh hati, dan jangan pernah tinggalkan aku’ ya, dia mengatakan seperti itu kepadaku.”
Kutatap lekat-lekat wajah sopirku, “Bagaimana hubunganku dengan Elifa saat ini?”
Sang sopir gugup, “Soal itu, saya benar-benar tidak tahu.”
***
Setelah semua tempat kami kunjungi, berangsur-angsur ingatanku mulai pulih. Aku bisa mengingat hari-hari indahku bersama Elifa. Membangkitkan rasa bahagia di dadaku. Tapi ingatanku belum sepenuhnya terbuka. Kenapa aku bisa kecelakaan? Bagaimana hubunganku dengan Elifa saat ini? Aku belum bisa menjawab.
Hari-hari berikutnya Elifa selalu datang menemuiku. Tapi, setiap kali ada yang datang, ia terburu-buru pergi. Apa yang sebenarnya terjadi? Ingin sekali aku ke rumahnya, menanyakan hubungan kami. Maka, aku segera berjalan menuju kamar Vanti, menanyakan di mana Elifa tinggal. Sesampainya di ruang tengah, kuhentikan langkahku. Kulihat Vanti sedang berbicara dengan Atanto, sopir pribadiku.
“Apa saja yang kau katakan kepada kakakku?”
“Saya tidak mengatakan apa-apa.”
“Ingat, jangan katakan Elifa sudah meninggal.”
“Ya, saya mengerti,” Atanto mengangguk.
“Aku tidak mau membuatnya sedih. Aku juga tidak tega—semisal mengatakan semua ini kepadanya. Biarlah suatu saat nanti dia mengingatnya sendiri secara alami.”
Kemudian, Atanto pamit meninggalkan Vanti.
Hatiku bagaikan disambar petir mendengar apa yang mereka bicarakan. Benarkah Elifa sudah meninggal? Lalu siapa yang sering menemuiku? Tanpa berpikir panjang kutanyakan semua ini kepada Vanti. Aku harus memaksanya berkata jujur.
“Aku sudah mendengar semua pembicaraanmu,” kataku kepada Vanti. Kami duduk di sofa ruang tamu.
“Tak ada lagi yang perlu kau sembunyikan dariku,” kutatap tajam wajahnya. “Kenapa Elifa meninggal? Kenapa?”
*READ MORE----> hanya ada di buku kumpulan cerita pendek “Satu Malam Panjang” (pemesanan melalui inbox Egar Noorwira Dp, tersedia/limited).
Langganan:
Postingan (Atom)