Rabu, 20 Juli 2016

Cerpen 'Foto Kusam 1956'

Cerpen : Foto Kusam 1956
Oleh : Tegar Noorwira D.P.

Tanggal 16 Mei 2016.

Waktu yang telah ditentukan tiba. Sekarang pukul sebelas malam, aku masih punya waktu satu jam lagi, sebelum melakukan apa yang harus kulakukan. Ini adalah pesan terakhir kakek yang tidak bisa kutolak; merupakan syarat yang diberikan kakek kepadaku sebagai ahli waris tunggal. Sebenarnya, aku merasa ngeri melakukannya; tapi beliau seorang kakek yang perhatian dan sayang kepada cucunya. Tidak seharusnya aku berdusta. Apa gunanya dilahirkan sebagai seorang laki-laki jika tidak memiliki keberanian! Kini, aku masih punya waktu satu jam lagi, sebelum melakukannya. Maka, lebih dulu kukenang hari-hari terakhirku bersama kakek. Di meja kecil ini, di samping tempat tidurnya, kuambil foto berbingkai kusam berukuran 10R, terukir angka tahun 1956 di atas bingkai tersebut. Di dalam bingkai, terpampang foto masa muda kakek yang sedang merangkul nenek. Foto itu memang buram, tapi wajah mereka tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan. Berseri-seri. Serasi dan saling mencintai sepenuh hati.

Setahun yang lalu, pukul delapan malam, aku bersama kakek menunggu KA Lodoya Malam—kelas bisnis yang akan memberangkatkan kami menuju Stasiun Bandung Besar. Satu jam kemudian, kereta datang, para penumpang memasuki gerbong masing-masing. Kami memasuki gerbong 13. Meletakkan pantat di tempat duduk bernomor 5A dan 5B. Di sepanjang perjalanan, kakek menceritakan segalanya tentang nenek. Semua yang diceritakannya membuat air mataku berlinang. Kakek dan nenek bagaikan dua jiwa dalam satu tubuh. Jika salah satunya dicabut dari tubuh itu, maka sebagian yang lainnya akan kehilangan sebagian hidupnya. Itulah yang dirasakan kakek sepeninggal nenek.

Kakek mengusap foto kusam 1956 yang ditaruhnya di atas paha. Kakek tidak mau membawa barang-barang miliknya selain foto tersebut. “Tuhan telah memanggil nenekmu di saat kami seharusnya berbahagia. Dihari itu adalah ulang tahun nenekmu yang ke-40.”

“Penyakit apa yang diderita nenek?” tanyaku kala itu.

“Virus dan komplikasi,” jawab kakek, beliau tidak menoleh sedikit pun ke arahku. Raut wajahnya yang keriput menunduk menatap foto.

Kereta berhenti di stasiun Bandung Besar sekitar pukul tujuh pagi. Setelah menaiki angkot menuju Ciurip, sampailah kami di rumah kakek, yang ternyata jauh dari kota, gelap, dan dikelilingi pepohonan tua. Bulu tengkukku merinding ketika menuntun kakek memasuki gerbang rumah tersebut. Tampak di depan kami rumah tua yang sudah berjamur. Kakek yang sudah berusia lanjut tubuhnya kurus, lemah, gemetaran, dan berjalan lambat; membuatku tidak betah melewati jalan setapak berbatu yang diapit kegelapan pepohonan rimbun.

Akhirnya kami memasuki rumah tak terawat itu. Namun, jika diperbaiki, bisa kubayangkan betapa indah dan mewah—bahkan layak untuk ditempati. Kubantu kakek berbaring di ranjang yang sebelumnya sudah kubersihkan. Ranjang itu menghadap ke arah jendela berbingkai kayu lapuk. Sinar matahari pagi menyorot hangat melewati celah-celah dedaunan yang berada di luar.

Kata Kakek, “Kamu akan menerima seluruh kekayaanku berupa rumah, uang, emas, dan barang-barang berharga milikku.”

“Lalu bagaimana dengan rumah mama yang kita tinggalkan?” tanyaku.

“Rumah itu milik kakek,” jawabnya. “Secara otomatis juga akan menjadi milikmu.”

Aku bahagia mendengarnya. Sebentar lagi aku akan menjadi orang kaya. Tapi, setelah kakek mengucapkan sesuatu kepadaku, mengajariku sebuah rahasia, perasaan bahagiaku tiba-tiba lenyap digantikan oleh perasaan ngeri. Dia memberikan dua persyaratan yang terkesan membebani. Meskipun tergolong lelaki bijaksana, kakek adalah lelaki misterius. Kata mama, kakek sering menyepi. Menyendiri. Dan suka kepada sesuatu yang berbau rahasia. Ia merupakan lelaki cerdas, jenius, serta memiliki imajinasi tinggi. Meskipun mama pernah berkata terang-terangan bahwa kakek terkadang tidak waras. Dulu saat masih muda, kakek sering ke luar negeri mempelajari macam-macam ilmu sejarah; filologi, Palaeografi, dan yang paling ia suka adalah teks-teks mesir kuno, termasuk hieroglif. Konon, kakek adalah seorang alkemis; ia mempercayai bahwa logam biasa bisa menjadi emas dengan cara pencampuran bahan kimia, bahkan menurutnya feses pun mengandung berbagai logam dan mineral, termasuk emas dan perak; lebih gilanya lagi, ia berpendapat bahwa tubuh manusia memiliki kandungan emas yang ikut mengalir bersama darah. Namun, semua itu tidak lebih menakutkan dari dua persyaratan yang harus kulakukan.

Dua hari setelah membantunya berbaring di ranjang beliau meninggal. Wajahnya tersenyum. Seolah-olah tahu kapan hari kematiannya tiba. Satu jam sebelumnya, ia mengingatkan kembali akan pesan terakhirnya; diakhiri dengan sebuah kalimat: “Aku hanya ingin menjadi orang tua sederhana yang hidup berdua bersama nenekmu.”

Di hari itu juga, persyaratan pertama sudah kuselesaikan dengan baik; mengawetkan jasad kakek di ruang bawah tanah; di dekat jasad nenek yang telah diawetkan oleh kakek—pada saat kematiannya. Kini, sudah saatnya aku melakukan persyaratan kedua, yang harus dilakukan pada tanggal 16 Mei 2016 pukul dua belas malam. Semua orang pasti merinding jika melihat apa yang akan kulakukan satu jam lagi.


*READ MORE----> hanya ada di buku kumpulan cerita pendek “Satu Malam Panjang” (pemesanan melalui inbox Egar Noorwira Dp, tersedia/limited).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar