REYNA FAHRESHA
berjalan keluar dari gedung kampusnya sambil membaca “Dewa
Kesepian” salah
satu dari karya novelis Inggris yang benar-benar romantis. Kali ini
buku yang ia baca sama dengan keadaannya sekarang. Salah satu
mahasiswi yang paling pintar di universitas favorit di daerah
Yogyakarta ini seperti dewi kesepian.
Usia Reyna Sembilan
belas tahun. Tubuhnya tegap, warna kulitnya langsat, dan bola matanya
teduh. Semua orang menganggapnya gadis yang baik. Meskipun begitu,
selama empat tahun ia masih sendiri tanpa seorang kekasih. Semua
orang menyukainya sebagai teman. Reyna tinggal bersama kedua orang
tuanya yang sederhana, cara apa pun dilakukan oleh bapak ibunya agar
Reyna dapat meneruskan ke perguruan tinggi. Mereka sangat sayang
kepada putri semata wayangnya itu.
Ketika Reyna sedang
memasukkan novelnya kedalam tas, sebuah motor melesat cepat.
Pengemudinya baru saja keluar dari tempat parkir. Ia seorang
perempuan berambut panjang dan berwajah cantik, menyapa Reyna. Reyna
membalas dengan lambain tangan. Kemudian ia baru menyadari bahwa
perempuan itu adalah Nathalia Kardita; salah satu perempuan tercantik
di kampus. Kakinya mungil, halus, bola matanya memancar dan kelihatan
segar. Mengingat nama Nathalia, membuat hati Reyna semakin tertusuk.
Nathalia banyak dikagumi. Tidak sedikit yang terang-terangnya
menyatakan cinta bahkan mengajaknya kencan. Sangat mudah bagi
Nathalia mendapatkan cinta daripada Reyna. Terlebih lagi Nathalia
adalah teman dekat Reyna; selain Dhea Akmalia yang juga salah satu
teman akrabnya.
Reyna terus berjalan
dan bertemu dengan Dhea. Mereka berjalan bersama. Sebelum mereka
mengambil jalan yang berbeda, mereka berhenti sebentar.
“Rey, sudah tiga
kali aku melihat pemuda itu duduk di sana,” kata Dhea.
“Aku juga sering
melihatnya. Bahkan lebih sering daripada kamu,” kata Reyna, “kami
bahkan sempat saling menatap.”
Mereka berpisah di
pinggir jalan. Dhea dijemput sedangkan Reyna menaiki angkutan umum.
Mereka tidak menyadari betapa pentingya pemuda itu selalu datang di
halaman kampus mereka. Mereka hanya bisa menebak bahwa pemuda itu
besok pasti akan datang lagi. Namun terbesit pula dipikiran mereka
bahwa pemuda itu aneh. Kurang waras. Atau mungkin berniat buruk.
Meskipun dari jauh tampak dewasa dan terpelajar; ia duduk penuh
penantian. Ya, penantian. Mungkin ia menanti seseorang.
***
Dugaan Reyna salah.
Hari berikutnya pemuda itu tidak terlihat lagi didepan kampus.
Dari belakang Dhea
menepuk bahu Reyna. “Rey, Jangan cepat-cepat dong jalannya.”
“Oh,” Reyna
menoleh ke arah Dhea. “Tumben orang itu tidak nongkrong lagi, “kata
Reyna setelah Dhea berjalan didekatnya.
“Mungkin karena
sudah memberikan surat ini,” Dhea menjulurkan lipatan kertas kepada
Reyna.
“Surat?” Reyna
heran. “Orang itu memberikan surat? Untuk siapa dan sejak kapan ia
memberikan surat?”
“Kemarin. Setelah
kamu pulang aku masih menunggu jemputan. Laki-laki itu datang
menghampiriku dan memberikan surat ini. Surat ini untukmu.”
“Untukku?”
sesaat jantung Reyna berdegup.
“Ya, untukmu. Dia
menyuruhku untuk memberikan surat ini.” Dhea menarik lengan Reyna
kemudian meletakkan surat itu ke telapak tangannya. “Tadi malam aku
ingin sekali memberitahumu lewat SMS, tapi seharian aku belum punya
pulsa. Surat ini belum aku baca.”
Reyna terbengong. Ia
masih tidak percaya surat itu ditujukan untuknya.
“Bacalah.”
Lanjut Dhea.
Perlahan-lahan Reyna
membaca surat itu. Isinya singkat :
Untuk perempuan
yang beberapa kali sempat menatapku,
Ada beberapa hal
yang ingin aku katakan kepadamu. Meski bagimu mungkin tidak terlalu
penting namun ini sangatlah berarti untukku. Tolonglah. Temui aku
besok sepulang dari kuliah, aku ada di halaman fakultas kedokteran.
Dari Ardian
“Bagaimana
menurutmu?” tanya Reyna.
“Itu terserah dari
hati nuranimu,” jawab Dhea. “Dia memberikan surat itu kemarin,
berarti hari inilah kamu harus menemuinya. Mungkin dia sudah
menunggu.”
Setelah diam sejenak
Reyna mulai memutuskan, “Tidak! Aku tidak akan menemuinya. tidak
ada waktu. Masih banyak yang lebih penting.”
“Aku setuju!
Jangan mudah percaya kepada laki-laki yang belum kita kenal.” Kata
Dhea sependapat.
Seperti biasa,
sesampainya di pinggir jalan Reyna dan Dhea berpisah. Mereka pulang
tanpa mempedulikan si pemuda yang masih sabar menunggu.
Sore itu, Reyna
membaca buku di kamarnya. Pikirannya kacau ketika teringat surat yang
diberikan Dhea kepadanya. Bukan karena tertarik dengan pemuda yang
belum jelas itu. Tapi karena ia adalah seorang perempuan yang berjiwa
besar dan selalu mengikuti nurani. Sebenarnya ia berdusta dengan
perasaanya sendiri. Reyna mengambil surat itu, kemudian dibacanya
lagi. Apakah dia benar-benar membutuhkan pertolongan? Mana mungkin
pemuda itu menggagumiku? Masih banyak gadis-gadis cantik di kampusku.
Pikirnya “Aku terlalu berkhayal jika orang itu ingin mengajakku
berkenalan,” katanya. Tapi jika dugaannya memang benar, ia merasa
bersaalah membiarkan pemuda itu menunggunya tanpa hasil. Seandainya
Reyna berada di posisi orang itu, pasti sangat tersiksa. Belum lagi,
jika orang itu kesepian seperti dirinya. Pikiran-pikiran seperti itu
telah menghantuinya.
Reyna menyesal. Dia
kecewa menolak menemui laki-laki itu. Tapi sudah terlambat,
laki-laki itu tidak mungkin datang lagi. Pikirnya.
***
Siang sangat terik,
Reyna menunggu datangnya angkutan umum. Dari kejauhan dilihatnya Dhea
berjalan tergesa-gesa ke arahnya. Tidak biasanya Dhea terburu-buru
seperti itu.
Bus yang ditunggu
Reyna datang, baru saja Reyna hendak menghentikan bus, terdengar
teriakan Dhea memanggilnya. Reyna menoleh. Selanjutnya bus itu pergi
meninggalkannya, Reyna tidak jadi naik.
“Untung kamu belum
naik,” kata Dhea setelah mendekati Reyna. Nafasnya sedikit
tersenggal-senggal. Keringat menetes dikedua pipinya yang bulat.
Kemudian ia menyibakkan rambutnya yang ikal.
“Ada apa?” tanya
Reyna.
“Orang itu datang.
Dia menyuruhku untuk memanggilmu.”
“Yang benar saja?”
Reyna terkejut.
Dhea memandang Reyna
penuh selidik. “Kamu kok jadi antusias gitu?”
“Aku menyesal,
Dhe. Dan kukira aku sudah terlambat.”
“Berarti sekarang
kamu mau menemuinya?”
“Ya. Kecuali kalau
kamu tidak mau mengantarkanku.”
“Maaf Rey, aku
tidak bisa menemanimu. Sebentar lagi cowokku datang menjemputku.”
“Gimana dong?”
Reyna bimbang.
“Dia menunggumu di
halaman fakultas kedokteran dan di sana masih banyak mahasiswa yang
belum pulang. Dia tidak mungkin berani berbuat macam-macam.”
“Tapi—”
“Cowokku sudah
datang.” Sahut Dhea. “Daa, Reyna! Aku pulang duluan—”
Dhea pergi meninggalkan Reyna yang masih berdiri bimbang.
Apakah aku tega
membiarkan pemuda itu kembali menungguku? Tidak! aku harus
menemuinya. Pikir Reyna. Tiba-tiba hatinya berdebar-debar, sudah lama
ia tidak berhadapan dengan seorang laki-laki. Kali ini ia harus
menemui laki-laki itu seorang diri. Dengan langkah perlahan-lahan
diiringi dengan debaran jantungnya yang semakin kencang, ia berbalik
menuju kampusnya. Menuju fakultas kedokteran.
“Mana dia? Yang
mana orangnya?” sesampainya di tempat yang dituju Reyna bingung. Di
halaman kampus kedokteran terlihat beberpa laki-laki sedang duduk.
“Selamat siang,”
seorang pemuda menyapa Reyna dari arah samping. Ucapannya lembut,
sopan, tapi kaku.
Hati Reyna semakin
berdebar menatap sorotan mata pemuda itu, tajam dan dingin.
Sebelumnya, Reyna tidak pernah menatapnya dalam jarak sedekat ini.
Reyna terpaku. Lalu menatap orang itu mulai dari kepala sampai ke
ujung kaki. Seperti ada getaran aneh yang seakan-akan membiusnya.
Apakah ini cinta dalam pandangan pertama? Cepat-cepat ia buang
pikiran semacam itu. . Reyna mengira pertemuan ini hanyalah mimpi.
Apa tujuan laki-laki ini? Berbagai pertanyaan mulai bermunculan
dibenaknya.
Kumis tipis membuat
laki-laki itu tampak lebih dewasa. Senyumannya ragu-ragu dan sedikit
dipadu dengan lesung pipi.
Melihat Reyna
terbengong, laki-laki itu langsung memperkenalkan diri. “Namaku
Ardian, terima kasih kamu datang menemui panggilanku.”
Meskipun dari luar
laki-laki ini tampak baik, Reyna tidak akan mudah percaya begitu
saja. Keadaan yang kaku ini membuat Ardian bingung, kata-kata apa
yang harus ia ucapkan.
“Mari kita duduk
di sana,” ajak Ardian sambil menunjukkan telunjuk jarinya ke arah
kursi panjang yang berada di bawah pohon.
Reyna hanya
menggangguk kemudian ia mengikuti Ardian. Reyna tidak ingin banyak
bicara, Ardianlah yang mempunyai keperluan, bukan Reyna. Reyna duduk
agak jauh. Ada sedikit rasa takut. Tapi Reyna merasa nyaman dan teduh
duduk di bawah pohon itu. Ia menunggu Ardian mengawali pembicaraan.
Sesaat angin berhembus, seakan mengisyaratkan agar Ardian lekas
mengucapkan sesuatu.
“Kamu belum
menyebutkan siapa namamu?” Tanya Ardian.
“Tidak. Aku tidak
akan menyebutkan siapa namaku. Cukup kita bertemu di sini dan lekas
katakan apa maumu?”
“Ok,” Ardian
mengganguk.
Reyna melirikkan
matanya ke arah Ardian, wajahnya seperti memancarkan sesuatu yang
membuat Reyna maerasa iba kepadanya. Tak seharusnya ia berucap
seperti itu kepada Ardian. Ia sungguh berdusta dengan nuraninya. Ia
simpatik dengan laki-laki disebelahnya itu, tapi berdusta dengan
perasaannya.
“Kamu temannya
Nathalia kan?” tanya Ardian. “Nathalia perempuan tercantik di
fakultas ekonomi.”
Deg
Hati Reyna sesaat
berdegup. Laki-laki di sampingnya menanyakan Nathalia, bukan dirinya.
Sebenarnya siapa yang dicari laki-laki itu?
“Ya.” Jawab
Reyna dengan singkat.
“Aku hanya ingin
minta tolong kepadamu,” kata Ardian bernada memohon. “Aku bingung
dari mana aku harus memulai bercerita, yang jelas aku sering melihat
Nathalia dan aku jatuh cinta kepadanya.”
Reyna sudah menduga,
mana mungkin laki-laki itu mengaguminya. Ia menyukai Nathalia, bukan
dirinya. Terlintas dibenak Reyna bahwa semua laki-laki mudah terpikat
melihat gadis secantik Nathalia. Namun ia salah besar mengganggap
Ardian seperti itu.
“Aku harus
mengetahui isinya sebelum membuka, mengenali lebih jauh sebelum
benar-benar mencintai,” kata Ardian, “Aku ingin mengenal Nathalia
lebih dekat. Tapi Nathalia tidak pernah merespon. Menurutmu apa yang
harus aku lakukan? Kita harus berteman—ya,
harus berteman—”
Ardian melanjutkan,
“Aku sering mengamatimu, hanya kamulah yang sering bersama Nathalia
dibandingkan dengan temanmu yang berambut ikal itu.”
“Sekarang aku
jarang berdua dengan Nathalia.”
“Tapi hanya
kamulah satu-satunya harapanku—harapan
agar aku bisa mengenal dan mendekati Nathalia. Ini nomorku,” Ardian
memberikan kartu nama kepada Reyna.
“Aku harus
pulang.” kata Reyna setelah memasukkan kartu nama itu ke dalam tas.
“Perlu aku antar?”
“Tidak perlu.”
“Kutunggu kabar
darimu.”
Namun Reyna tidak
menjawabnya. Ia segera berlalu meninggalkan Ardian.
“Aku harap kita
bisa bertemu lagi.” kata Ardian lirih.
***
Reyna Fahresha hanya
dijadikan peranta cinta. Ia masih bimbang apa yang harus
dilakukannya? Ia tidak pernah menghubungi Ardian, tetapi hari-harinya
hanya dihabiskan untuk berpikir. Hati kecilnya beranggapan bahwa
Ardian hanya memanfaatkannya, dan itu pemikiran yang jauh dari jiwa
besarnya. Melihat sorotan mata Ardian, ia yakin laki-laki itu
benar-benar meminta pertolongan, bukan karena ada maksud lain.
Baginya, Ardian adalah salah satu ujian dan cobaan berat untuk jiwa
besarnya yang selalu menjunjung tinggi kebenaran. Jika Reyna memang
seorang perempuan yang baik, ia harus menolong tanpa mengharapkan
imbalan apa pun. Sikap itulah yang membuatnya banyak disukai teman.
Sudah lama Ardian
menunggu, namun ponselnya tidak pernah berbunyi. Ia memutuskan untuk
mencari Reyna. Dan akhirnya mereka berdua kembali bertemu. Begitulah
awal dari persahabatan mereka. Dua kali seminggu mereka bertemu di
kampus, terkadang di warung makan. Selain membahas Nathalia, mereka
mulai membicarakan diri sendiri. Reyna menceritakan kehidupannya yang
sederhana, kemudian Ardian juga menceritakan kisah hidupannya.
Pada mulanya Reyna
mengira Ardian adalah mahasiswa fakultas kedokteran, namun ternyata
ia bukan seorang mahasiswa. Ia hanya mempunyai hubungan bisnis dengan
seorang dosen dari fakultas itu. Bermula Dari bisnis itulah Ardian
sering melihat Nathalia dan tahu nama gadis itu. Berbagai cara ia
lakukan agar bisa mendekati Nathalia, namun ia selalu gagal, hingga
pada akhirnya ia menemukan cara lain, yaitu meminta pertolongan
kepada Reyna.
“Bisnis apa yang
sedang kau jalani?” tanya Reyna. Mereka makan ronde
di pinggir jalan Alun-alun Utara.
“Memahat patung.”
“Memahat patung?”
Reyna hampir tidak percaya. Seumur-umur baru sekarang ia mempunyai
teman yang berprofesi sebagai pemahat patung.
“Ya, pemahat
patung,” jawab Ardian. “Aku suka bekerja yang sesuai dengan
kemampuanku. Aku sudah beberapa kali memahat patung dan aku sempat
memamerkannya.”
“Di mana kamu
memamerkannya?”
“Ke mana pun ada
pameran, kutitipkan hasil karya patungku.” Jawab Ardian sambil
meletakkan mangkuk rondenya
yang sudah habis. “Aku belum mempunyai tempat sendiri untuk
memamerkan hasil karyaku. Sekarang aku sedang berencana membuat
ruangan sendiri untuk hasil karyaku.”
“Yakinlah, kamu
pasti bisa.”
“Aku sudah
berusaha, tapi rasanya sangat sulit. Selama ini hanya satu orang saja
yang berminat dengan hasil karyaku. Dia adalah Pak Muzaky, seorang
dosen fakultas kedokteran. Dia bukan sekedar berminat, tapi banyak
memberikan insiprasi untuk pembuatan patung-patungku. Beliau juga
seorang psikolog, karena itulah patungku dapat berkarakter dan lebih
hidup. Namun sampai saat ini usahaku belum dikatakan seratus persen
berhasil.”
“Jika hanya
membicarakan mimpi, kamu tidak akan melihat kenyataan. Tetapi jika
berusaha mengejar mimpi, kamu dapat melihat masa depan.”
“Kamu benar Rey,
tapi aku belum bisa mendapatkan inspirasi untuk bentuk patung yang
akan aku pahat. Karya itu harus benar-benar terkenal.
Ee—ngomong-ngomong
setelah selesai kuliah kamu mau bekerja di mana?”
“Entahlah. Yang
terpenting aku harus menyelesaikan kuliahku terlebih dahulu. Aku
tidak mau menyia-nyiakan perjuangan kedua orang tuaku.”
“Lalu kenapa kamu
tidak melakukan pekerjaan yang kamu sukai disamping kuliahmu itu?”
“Karena sampai
saat ini aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan. Kecuali sering
membaca buku.” Jawabnya sambil tersenyum.
Tak terasa hari
semakin petang, mereka pulang setelah membicarakan pribadi mereka
masing-masing. Di hari lain Ardian kembali membahas masalah Nathalia,
gadis cantik yang didambakannya namun sangat sulit didekati.
“Kenapa Nathalia
selalu menghindar ketika aku hendak mendekatinya? Pasti kamu tahu
penyebabnya?” tanya Ardian.
“Aku tidak tahu.
Perempuan terkadang sulit ditebak,” jawab Reyna, “Namun perempuan
bisa membuat laki-laki takluk dan melakukan apa saja demi perempuan
itu.”
“Ya, aku harus
melakukan apa pun demi mendapatkan Nathalia. Tapi aku tahu, kamu
tidak hanya berada dipihakku, kamu juga berada dipihak Nathalia. Apa
saja yang sudah dikatakan Nathalia kepadamu?”
Pertanyaan ini
membuat Reyna bingung. Nathalia memang benar-benar teman dekatnya.
Banyak hal yang dikatakan Nathalia, termasuk menyuruh Reyna
mendiamkan Ardian. Untuk tidak mempedulikannya. Tapi ia tidak sanggup
mengatakan ini kepada Ardian. Karena ia jatuh cinta kepada Ardian.
Menyukainya sejak pertama kali melihatnya berdiri dihadapannya. Tapi
Reyna tidak mungkin bisa mengungkapkan perasaannya itu, bukan karena
takut Ardian tidak membalas cintanya, Reyna hanya ingin Ardian
bahagia bersama Nathalia, karena dialah gadis yang dicintai Ardian.
Ia menuruti kehendak hati nuraninya, kesucian hatinya membuatnya rela
meskipun hatinya menderita. Ia harus membuang perasaan itu jauh-jauh.
“Apa pun yang
dikatakan Nathalia kepadaku kamu tidak perlu tahu,” jawab Reyna.
“Aku sudah berusaha keras membujuknya, tapi dia tetap tidak mau
menemuimu.”
“Lalu apa
penyebabnya?” Ardian hampir putus asa.
“Aku akan berusaha
sekali lagi mempertemukanmu dengan Nathalia, kemudian tanyakan
sendiri kepada Nathalia apa penyebabnya.”
Ardian tersenyum
lalu mengucapkan terima kasih.
“Setelah aku
berhasil mempertemukanmu dengan Nathalia, jangan temui aku lagi.”
“Kenapa? Kenapa
begitu?” Ardian heran.
“Karena aku harus
berusaha, agar kamu juga berusaha. Itulah jalan terbaik agar kamu
bisa memiliki Nathalia.”
Ardian tidak
mengerti maksud ucapan Reyna. Kemudian Reyna kembali berkata :
“Seperti yang kamu katakan tadi, kamu harus melakukan apapun demi
mendapatkan Nathalia. Kamu harus bekerja keras! Aku percaya kamu
mampu.” Setelah berkata demikian Reyna pergi meninggalkan Ardian.
Ardian tidak begitu
mengerti, apa maksud Reyna. Ia melarang Ardian untuk menemuinya lagi.
Berarti pertemanan mereka putus. Sangat disayangkan. Tapi Ardian
yakin, Reyna tahu tentang Nathalia, kenapa wanita cantik itu tidak
mau menemuinya. Ada sesuatu yang membuat Reyna enggan mengaku, ia tak
enak hati kepada Ardian. Bukan itu saja, ia tak ingin melihat
seseorang yang dicintainya kecewa, biarlah suatu saat nanti Ardian
tahu sendiri tentang Nathalia.
***
Sebulan kemudian,
Ardian sesekali datang ke fakultas ekonomi tempat di mana Reyna
belajar. Namun Reyna benar-benar tidak dapat ditemui, bahkan seperti
menghilang. Ardian tidak pernah melihat Reyna lagi. Reyna benar-benar
menjauh dari Ardian. Tanpa Reyna, harapannya untuk memiliki Nathalia
pun ikut musnah. Ia sedih.
Dalam keputus
asaanya, Ardian duduk lesu di bawah pohon, tempat pertama kalinya ia
duduk berdua dengan Reyna. Ia menundukkan kepala ke bawah, kemudian
mendengar langkah kaki yang semakin mendekat. Ia tidak mempedulikan
suara itu, mungkin hanya suara langkah kaki seorang mahasiswa yang
tidak dikenalnya. Langkah itu berhenti lalu duduk disebelahnya.
Ardian mengangkat kepala melihat orang yang duduk disebelahnya. Maka
terkejutlah ia melihat orang itu yang ternyata adalah NATHALIA.
Ardian menjadi salah
tingkah. Gugup. Ia benar-benar tidak percaya. Ini seperti mimpi.
Gadis anggun seumuran Reyna itu seperti bintang yang bersinar terang.
Berkilau seperti awan yang tertimpa cahaya matahari. Kamu cantik,
pikir Ardian.
“Aku datang demi
Reyna.” kata Nathalia. “Aku tidak menyangka Reyna memohon dengan
amat sangat kepadaku, agar aku menemuimu.” Baru pertama kali ini
Ardian mendengarkan suara Nathalia yang begitu lembut.
Ardian terharu,
Reyna memang benar-benar gadis berjiwa besar. “Bagaimana kabar
Reyna?”
“Dia melarangku
mengatakan apa pun tentang dirinya, sekarang katakanlah apa perlumu?”
“Aku—bolehkah
aku mengenalmu lebih dekat. Jujur, sejak pertama kali aku melihatmu
aku simpatik.”
“Sebenarnya bukan
karena aku tidak mau, Ayahku pasti tidak menyetujui hubungan kita.
Ayahku tegas dan tidak asal memilih, ia menginginkan kebahagiaan
putirnya. Ia menginginkan aku mempunyai seorang kekasih yang bertitel
dan mapan.”
“Kamu enggan
kudekati hanya gara-gara berpikiran sejauh itu? Bukannya aku masih
bisa menjadi teman atau sahabatmu, bukan kekasih?”
“Tapi kamu sudah
mencintaiku, apa bedanya kamu menjadi sahabatku bila rasa cinta itu
masih terus ada dihatimu.”
Ardian diam. Ia
tidak ingin banyak bicara lagi. Ia sudah tahu apa alasannya. Sekarang
yang bisa ia lakukan hanyalah bekerja keras, seperti apa yang pernah
dikatakan oleh Reyna.
***
Setahun penuh Ardian
hidup sendiri tanpa seorang kekasih. Hari-harinya hanya digunakan
untuk memahat patung. Ia meninggalkan keluarga dan kota kelahirannya.
Kini ia hidup bersama kakeknya di Jakarta; yang adalah salah satu
seniman pemahat patung.
Perjuangan Ardian
yang sangat panjang di Jakarta telah membuahkan hasil. Karya-karyanya
mulai banyak dikagumi. Ia semakin tenar, dan salah satu patungnya
yang paling terkenal ia beri nama “Malaikat
Kesepian”.
Mulai dari bentuk patung, sampai nama yang diberikan untuk patung
itu terinspirasi dari novel terbaru yang berjudul “Sepi
Tanpa Akhir”; novel
best seller yang sempat dicetak ulang beberapa kali
dan ditulis
oleh penulis muda yang bernama “Resha EY”. Novel ini menceritakan
kisah seorang gadis yang benar-benar mengalami kesepian disepanjang
hidupnya. Gadis ini pernah mencintai seorang laki-laki, tapi demi
laki-laki yang dicintainya, ia rela hidup sendiri demi mempersatukan
laki-laki itu dengan seorang perempuan yang dicintainya.
Patung Malaikat
Kesepian karya
Ardian ini dipahat dengan hati-hati, penuh semangat, dan termasuk
patung terbaik tahun itu di Indonesia. Patung Malaikat
Kesepian
telah mengubah hidup Ardian menjadi lebih baik dan mapan. Banyak
orang yang berbondong-bondong datang ke ruang pamerannya untuk
melihat patung itu. Banyak yang ingin membeli patung itu, namun
Ardian tidak berniat menjualnya. Patung itu menggambarkan seorang
gadis cantik berambut panjang dengan pakaian berwarna putih bak
bidadari. Namun dibalik kecantikannya menyimpan sebuah misteri dan
kesedihan.
Hidup kaya raya
membuat Ardian menjadi bosan dan semakin kesepian. Apa pun yang ia
inginkan bisa terwujud, kecuali kasih sayang dari seorang kekasih. Ia
rindu kepada seorang gadis yang pernah menjadi perantaraan cintanya,
dia adalah Reyna. Reyna yang selalu ia ingat, bukan Nathalia. Reyna
seorang gadis yang berjiwa besar, pernah menolongnya dengan ketulusan
hatinya.
Untuk apa Ardian
kembali menginginkan Nathalia, jika Nathalia dan ayahnya hanya
mengharapkan kekayaannya yang sekarang ini? Mereka mencintai harta
dan bukan mencintai Ardian. Sedangkan Reyna selalu menemaninya disaat
Ardian dalam keadaan apa pun. Ia tahu betapa tiada duanya Reyna,
hatinya sangat baik. Ardian benar-benar mencintai Reyna. Kini seorang
laki-laki segagah Ardian menangis. Di mana sekarang Reyna berada? Ia
harus kembali ke Yogyakarta demi mencari Reyna. Bahkan jika tidak
bertemu, sampai ke ujung dunia sekalipun akan terus dicarinya.
***
Hari minggu yang
cerah di kota Jakarta. Ardian keluar dari ruang pameran yang tidak
jauh dari rumah kakeknya membawa tas besar. Sebelum masuk ke dalam
mobil, seorang pembantu datang menghampirinya.
“Tuan, ada seorang
perempuan yang ingin melihat patung,” kata pembantu separuh baya.
“Perempuan itu menunggu di luar gerbang.”
“Pak Sholeh,
bilang saja saat ini aku tidak bisa menerima tamu. Aku mau pulang ke
Yogyakarta.”
“Tapi perempuan
itu memohon.”
Ardian berpikir
sejenak. “Ya sudah, suruh dia masuk!” katanya geram. Baru kali
ini Ardian sedikit jengkel kepada tamunya.
Ketika perempuan itu
dipersilakan masuk oleh Pak Sholeh, Ardian sudah menunggu diruang
pameran.
“Cepat Mbak, masuk
saja,” kata Pak Sholeh, “Tuan saya tidak punya banyak waktu.”
Gadis itu hanya
tersenyum dan menggangguk, kemudian ia masuk melihat-lihat berbagai
macam patung unik dengan pahatan rapi. Kemudian ia melihat ke arah
patung yang paling ujung. Patung itu terlihat menonjol dibandingkan
dengan patung-patung yang lain. Patung seorang gadis yang sedang
duduk dengan posisi kedua tangan mendekap kedua kakinya. Wajah patung
yang anggun namun penuh kemisteriusan ini tidak lain adalah patung
Malaikat
Kesepian.
Gadis itu kagum melihat keindahan patung itu.
Beberapa saat
kemudian, gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah Ardian yang
sedang duduk dikursi menundukkan kepala.
“Permisi,” suara
gadis itu terdengar lembut. “Apakah benar patung terkenal ini
dibuat oleh seorang laki-laki bernama Ardian?” tanya gadis itu.
“Benar,” jawab
Ardian sambil mengangkat kepalanya. Ia hampir saja menjerit ketika
melihat wajah gadis itu.
“Reyna!” Ardian
bergegas memeluk gadis itu erat-erat.
Reyna menitikkan air
mata sambil berucap, “Kamu tidak mungkin bisa memahat patung
seindah itu kecuali kamu pernah melihat dan membaca karya novelku.”
“Maksudmu novel
Sepi
Tanpa Akhir
adalah karyamu? Tapi nama pengarang itu adalah Resha EY?”
“Itu nama penaku.”
“Apa kamu sengaja
berjuang keras menjadi seorang penulis agar aku dapat terinspirasi
dari karya novelmu?”
“Ya, ingatkah kamu
dengan kalimat yang pernah aku ucapkan? ‘Karena
aku harus berusaha, agar kamu juga berusaha. Itulah jalan terbaik
agar kamu bisa memiliki Nathalia.’
Dan kamu pasti sudah memahami kisah didalam novelku yang menceritakan
tentang diriku sendiri.” Reyna terdiam sejenak, kemudian ia
melanjutkan, “Kamu sudah menjadi orang besar, temuilah Nathalia,”
sambil menahan
tangis Reyna pergi meninggalkan Ardian.
Ardian baru
menyadari; kisah novel seorang gadis yang rela kesepian demi seorang
laki-laki yang dicintainya itu ternyata adalah Reyna.
“Tunggu!” Ardian
menghentikan langkah Reyna, kemudian ia genggam kedua telapak
tangannya. “Kamu jangan melukai dirimu sendiri, sesungguhnya aku
juga mencintaimu—
mencintaimu, Reyna. Jangan pergi, aku tidak bisa hidup tanpamu.”
“Hari-hariku
kuhabiskan untuk bekerja keras,” lanjut Ardian, “Selama ini aku
juga kesepian, seperti dirimu. Tahukah kamu, dua jiwa yang kesepian
kini telah dipersatukan. Kamu bukan lagi perantara cintaku, kamu
sudah menjadi bagian dari jiwaku. Maafkan aku, maafkan aku telah
membuatmu menderita dalam kesendirian, andai saja dulu aku menyadari
bahwa kamulah kekasih hatiku—”
“Tak banyak yang
dapat aku katakan,” kata Reyna, “Aku hanya dapat mengatakan,
bahwa aku juga mencintaimu. Sungguh mencintaimu.” Tampak
butiran-butiran bening dikedua bola mata Reyna.
Pasangan yang
bahagia. Penuh kasih. Dan harmonis.
_Selesai_ (2012)