Minggu, 29 Mei 2016

CERPEN: Jatuh Tanpa Sayap

Satya berjalan tergesa-gesa memasuki gedung kesenian. Mencari-cari kursi kosong, kemudian mendapatkanya dideretan nomor empat. Baru kali ini ia datang terlambat.
Tatapan matanya fokus kedepan. Ke arah panggung yang mementaskan drama berjudul ‘Ratu dan si Gadis Desa’. Ia mengambil sebuah kamera. Memotret gadis desa yang berparas manis, elegan, dan natural. Meskipun sang ratu lebih dominan.
Setelah pementasan drama selesai, Satya berjalan ke belakang panggung. Diantara keramaian orang matanya hanya tertuju pada Veraulina; nama asli si gadis desa. “Aku tahu, ini bukan urusanmu. Tapi lihatlah, sudah berapa kali aku melihatmu bermain drama? Aku selalu mengikutimu. Menunggumu. Aku penggemar setiamu, Veraulina!” Suara Satya tenggelam dalam hiruk-pikuk. Dan—” ucapannya terhenti. Veraulina tak terlihat lagi. Semakin menjauh. “Dan barangkali aku sudah mencintaimu—” lanjutnya lirih.
Veraulina adalah gadis multi talenta yang sedang naik daun. Sedangkan Satya adalah photographer penggemar beratnya. Dia selalu mengikuti ke mana pun Veraulina pentas; menyanyi, main drama, dan bermacam-macam kesenian lainnya.
Setelah merasa gagal mendapatkan perhatian dari Veraulina, ia memilih menunggu diluar gedung sampai Veraulina pulang. Kejadian seperti itu sudah terjadi berulang kali.
Suatu hari Veraulina menyanyikan lagu berjudul Setiap Waktu’. Suaranya mengalun merdu:
Pandanglah aku, genggamlah tanganku. Kenapa kita jadi tak saling kenal saat cinta kita begitu kuat. Kenapa kau lanjutkan hidup tanpaku. Tiap kali mencoba terbang, aku jatuh tanpa sayapku, aku merasa begitu kecil. Kukira aku butuh dirimu, kasih. Dan tiap kali kulihat kau dimimpiku kulihat wajahmu, wajahmu menghantuiku. Kukira aku membutuhkanmu, kasih. Kubayangkan kau di sini hanya itulah caraku untuk melihat dengan jelas. Apa yang telah kau lakukan kau pegi dengan mudahnya. Mungkin aku telah sebabkan hujan maafkanlah aku. Kelemahanku telah memberimu luka dan lagu ini adalah ucapan maafku. Di malam hari aku berdoa agar wajahmu segera berlalu.
Jantung Satya berdebar-debar mendengarkan suara Veraulina. Seperti terhipnotis. Terpaku memandangi wajahnya.
Setelah selesai menyanyikan lagu, Veraulina menuruni panggung. Penonton berbondong-bondong meminta tanda tangan. Namun Veraulina dijaga ketat. Mereka tidak boleh mendekat. Beberapa orang memilih menunggu di luar; termasuk Satya. Suara Veraulina menarik semua perhatian orang. Penggemarnya semakin membludak. Satya bukan lagi satu-satunya penggemar yang fanatik. Tetapi Satya tidak pernah menyerah. Ia mampu bertahan menunggu Veraulina keluar.
Akhirnya gadis yang ditunggu datang. Veraulina berjalan keluar dari gedung.
Bolehkah aku mengambil fotomu?” tanya Satya
Silakan.”
Satya mengambil foto Veraulina dari berbagai sudut.
Cukup,kata Veraulina.
Veraulina masuk kedalam mobil. Satya masih memandanginya. Masih banyak yang ingin dikatakan. Tapi, apalah arti diriku untukmu? Pikirnya.
Hidup Satya hanya berputar-putar disitu saja. ‘Menonton dan menunggu’. Seterusnya seperti itu. Satya selalu menonton Veraulina pentas dan menunggu Veraulina keluar. Ia tidak pernah melewatkan sedikit pun jadwal panggung Veraulina. Tidak peduli sudah berapa kali Veraulina melihatnya. Satya tidak mengerti apa yang ada dipikiran Veraulina. Ia hanya mengerti apa yang ada dipikirannya sendiri. Bahwa ia bukan saja menggemari. Tapi, juga telah jatuh hati.
Hingga sampai pada hari yang keberapa. Entah. Veraulina memainkan piano diatas panggung.
Nada piano yang dimainkan semakin mendayu. Penonton bertepuk tangan. Satya melangkah santai naik ke atas panggung. Ia lipat kedua tangannya kebelakang, menyembunyikan seikat bunga. Ketika Veraulina selesai memainkan piano, Satya masih berdiri. Membiarkan gadis anggun itu menatapnya lebih dulu. Setelah itu barulah Satya menyodorkannya.
Terima kasih!” Veraulina menerima bunga itu.
Penonton bertepuk tangan.
Veraulina—aku—”
Maaf, aku mau turun panggung!” Sahut Veraulina. Ia mengucapkan kata terima kasih kepada penonton. Kemudian pergi meninggalkan Satya.
Tak ada pilihan lain, Satya kembali menunggu diluar.
Ketika Veraulina datang, mereka hanya saling menatap.
Itu sudah membuat Satya puas.
***
Veraulina melekat erat dihati Satya. Ia selalu mengingat suara indah Veraulina. Mengingat lagu-lagu yang pernah dinyanyikannya. Mengingat semua hal tentang Veraulina saat berada diatas panggung.
Satya bukanlah tipe penggemar yang menempelkan poster-poster idolanya di dinding. Bukan penggemar yang menyimpan foto-foto idolanya di album. Ia hanya menyimpan Veraulina dihatinya. Dia Rela mati-matian datang ke acara pentas Veraulina. Rela kehujanan. Rela membatalkan sesuatu yang lebih penting demi menonton Veraulina.
Namun sosok Veraulina yang dikaguminya, ternyata berlatang belakang lain. Ia adalah seorang gadis panti asuhan. Dulu, ketika Veraulina masih bayi, ayah dan ibunya selalu ribut. Mereka tidak akur. Ibu Veraulina sakit-sakitan dan terserang penyakit kanker. Ibunya meninggal dunia sedangkan ayahnya menikah lagi setelah menitipkan Veraulina kepada Bu Riri. Awalnya, Bu Riri menolak. tapi ayah Veraulina terus mendesak dengan mengatakan kelak akan mengambil Veraulina lagi. Untuk menguatkan perjanjian itu, Bu Riri mengajukan beberapa syarat, salah satunya adalah meminta foto dan alamat lengkap Rixky; ayah Veraulina.
***
Ini foto ayahmu dan ini alamatnya.” Kata Riri, pengurus panti asuhan. Bu Riri memeberikan foto dan selembar kertas kepada Veraulina.
Terima kasih, Bu.”
Aku sudah menceritakan semuanya kepadamu tentang ayahmu. Apakah kamu yakin ingin menemuinya?”
Tekadku sudah bulat, Bu. Aku mohon pamit.”
Bu Riri tidak bisa menolak lagi, “Hati-hati ya, Nak.”
Veraulina menangis sambil mencium tangan Bu Riri. Bagaimanapun juga, Bu Riri sudah seperti ibu kandungnya sendiri.
Sudahlah Vera, kamu bisa kembali lagi ke sini.”
Veraulina melangkah pergi. Namun langkahnya masih berat. Ia menengok ke belakang, dilihatnya Bu Riri menganggukkan kepala.
Veraulina menaiki taksi menuju stasiun Jakarta Kota. Kemudian menaiki kereta api menuju Bandung. Di sana, ternyata Rixky telah menjadi ayah pendusta, Veraulina tidak diakui sebagai putri kandungnya, karena itu ia memutuskan kembali lagi ke Jakarta.
Veraulina kecewa. Ia menangis. Menangis sejadi-jadinya. Baru pertama kali ini ia merasakan sakit yang teramat sangat. Ketulusannya bagai terombang-ambing. Kasihnya tidak diakui, dibalas dengan keangkuhan. Ia baru menyadari betapa sakitnya tidak dihargai itu. Veraulina jatuh dan tidak dapat bangkit. Ia menyerah untuk kembali kepada ayahnya.
Teringatlah ia kepada Satya, posisinya sama seperti dirinya saat ini. Bedanya, Satya tidak pernah menyerah meskipun ketulusannya tidak dihiraukan. Ia jatuh, tetapi dapat bangkit. Veraulina menyadari semua itu. Menyadari betapa tulusnya penggemarnya.
***
Veraulina! Veraulina!” suara penonton terdengar riuh tatkala Veraulina menaiki panggung.
Sekembalinya ke Jakarta, Veraulina masih menjadi bintang idola.
Namun Veraulina tidak pernah melihat Satya. Satya tak pernah ada dikursi penonton. Satya tak pernah terlihat diluar gedung. Satya tiba-tiba menghilang.
Kenapa Veraulina mencari ketulusan yang selama ini ia acuhkan? Ia membutuhkan ketulusan setelah mengerti arti ketulusan.
Di mana orang itu? Di mana orang yang selalu mengalungkan kameranya dileher? Siapa nama orang itu? Veraulina tidak akan pernah tahu.
Lagu ‘Setiap Waktu’ yang kerap kali ia nyanyikan telah menghantui dirinya sendiri. Pandanglah akuKenapa kita jadi tak saling kenalAku jatuh tanpa sayapkuKukira aku butuh dirimuDan tiap kali kulihat kaukulihat wajahmu, wajahmu menghantuiku. Kukira aku membutuhkanmuKubayangkan kau di sini hanya itulah caraku untuk melihat dengan jelas.
Veraulina berjalan lunglai menuju mobil sepulang dari pentas. Tidak ada lagi penggemar yang memberikan bunga. Tidak ada lagi penggemar yang selalu menungguinya. Semua berbeda. Berbeda semenjak Satya tak lagi nampak. Tidak ada yang mampu bertahan seperti Satya. Veraulina kehilangan satu penggemarnya yang unik. Satya hanya satu. Tidak ada Satya yang lain.
Di mana dia? Hanya itu pertanyaan yang selalu hadir dipikirannya.
Veraulina menginjak selembar koran. Andai saja ia tahu, berita utama yang tertulis dikoran itu: ‘Seorang pemuda photographer tewas kecelaakaan ketika hendak menonton drama—”
Apakah orang yang disebutkan dikoran itu adalah Satya? Tidak diketahui lagi, ketika kedua kakinya tanpa sengaja menyeret dan menyobek koran itu.
Mau bagaimanapun juga Satya telah menunjukkan begitu pentingnya cinta. Tanpa ketulusan, bagai jatuh tanpa sayap.


_Selesai_ (2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar