Satya
berjalan tergesa-gesa memasuki
gedung
kesenian.
Mencari-cari kursi kosong, kemudian mendapatkanya dideretan nomor
empat. Baru
kali ini ia
datang
terlambat.
Tatapan
matanya fokus
kedepan.
Ke
arah panggung yang mementaskan drama berjudul ‘Ratu dan si Gadis
Desa’.
Ia mengambil
sebuah
kamera.
Memotret
gadis desa yang berparas manis, elegan, dan
natural.
Meskipun
sang ratu lebih dominan.
Setelah
pementasan drama
selesai,
Satya berjalan
ke belakang panggung. Diantara keramaian orang matanya
hanya
tertuju pada Veraulina;
nama asli si gadis desa.
“Aku tahu, ini bukan urusanmu.
Tapi
lihatlah, sudah berapa kali aku melihatmu bermain
drama?
Aku selalu mengikutimu. Menunggumu. Aku penggemar setiamu,
Veraulina!”
Suara Satya tenggelam dalam hiruk-pikuk.
“Dan—”
ucapannya terhenti. Veraulina tak terlihat lagi.
Semakin
menjauh. “Dan barangkali aku sudah mencintaimu—” lanjutnya
lirih.
Veraulina
adalah gadis multi talenta yang sedang naik daun. Sedangkan Satya
adalah photographer
penggemar
beratnya. Dia selalu mengikuti ke mana pun Veraulina pentas;
menyanyi,
main drama, dan bermacam-macam
kesenian lainnya.
Setelah
merasa gagal mendapatkan
perhatian dari Veraulina, ia
memilih menunggu diluar gedung sampai Veraulina pulang. Kejadian
seperti itu
sudah terjadi berulang kali.
Suatu
hari Veraulina menyanyikan lagu berjudul ‘Setiap
Waktu’.
Suaranya
mengalun merdu:
Pandanglah
aku, genggamlah tanganku. Kenapa kita jadi tak saling kenal saat
cinta kita begitu kuat. Kenapa kau lanjutkan hidup tanpaku. Tiap kali
mencoba terbang, aku jatuh tanpa sayapku, aku merasa begitu kecil.
Kukira aku butuh dirimu, kasih. Dan tiap kali kulihat kau dimimpiku
kulihat wajahmu, wajahmu menghantuiku. Kukira aku membutuhkanmu,
kasih. Kubayangkan kau di sini hanya itulah caraku untuk melihat
dengan jelas. Apa yang telah kau lakukan kau pegi dengan mudahnya.
Mungkin aku telah sebabkan hujan maafkanlah aku. Kelemahanku telah
memberimu luka dan lagu ini adalah ucapan maafku. Di malam hari aku
berdoa agar wajahmu segera berlalu.
Jantung
Satya berdebar-debar
mendengarkan
suara Veraulina. Seperti
terhipnotis.
Terpaku
memandangi wajahnya.
Setelah
selesai menyanyikan
lagu, Veraulina menuruni panggung.
Penonton berbondong-bondong meminta tanda tangan. Namun Veraulina
dijaga ketat. Mereka tidak boleh mendekat.
Beberapa
orang memilih menunggu di luar;
termasuk
Satya. Suara Veraulina menarik semua perhatian orang. Penggemarnya
semakin membludak. Satya bukan lagi satu-satunya penggemar yang
fanatik. Tetapi Satya tidak pernah menyerah. Ia
mampu
bertahan menunggu Veraulina keluar.
Akhirnya
gadis yang ditunggu datang. Veraulina berjalan keluar dari gedung.
“Bolehkah
aku mengambil
fotomu?”
tanya Satya
“Silakan.”
Satya
mengambil foto Veraulina dari berbagai sudut.
“Cukup,”
kata
Veraulina.
Veraulina
masuk kedalam mobil. Satya masih memandanginya. Masih banyak yang
ingin dikatakan.
Tapi,
apalah
arti diriku untukmu? Pikirnya.
Hidup
Satya
hanya berputar-putar disitu
saja.
‘Menonton dan menunggu’. Seterusnya seperti itu. Satya selalu
menonton Veraulina pentas dan menunggu Veraulina keluar. Ia
tidak pernah melewatkan sedikit
pun jadwal
panggung
Veraulina. Tidak peduli sudah berapa kali Veraulina melihatnya. Satya
tidak mengerti apa yang ada dipikiran Veraulina. Ia
hanya mengerti apa yang ada dipikirannya sendiri. Bahwa ia bukan saja
menggemari. Tapi,
juga telah jatuh hati.
Hingga
sampai pada hari yang keberapa. Entah. Veraulina memainkan piano
diatas panggung.
Nada
piano yang dimainkan semakin mendayu. Penonton bertepuk tangan. Satya
melangkah santai naik ke atas panggung. Ia
lipat
kedua
tangannya kebelakang,
menyembunyikan
seikat bunga. Ketika Veraulina selesai memainkan piano, Satya masih
berdiri. Membiarkan gadis anggun itu menatapnya
lebih dulu.
Setelah itu barulah Satya menyodorkannya.
“Terima
kasih!” Veraulina menerima bunga itu.
Penonton
bertepuk tangan.
“Veraulina—aku—”
“Maaf,
aku mau turun panggung!” Sahut Veraulina.
Ia
mengucapkan kata terima kasih kepada penonton. Kemudian pergi
meninggalkan Satya.
Tak
ada pilihan lain, Satya kembali menunggu diluar.
Ketika
Veraulina datang, mereka hanya saling menatap.
Itu
sudah membuat Satya puas.
***
Veraulina
melekat erat dihati Satya. Ia selalu mengingat suara indah Veraulina.
Mengingat
lagu-lagu yang pernah dinyanyikannya.
Mengingat
semua hal tentang Veraulina saat berada diatas panggung.
Satya
bukanlah tipe penggemar yang menempelkan poster-poster idolanya di
dinding.
Bukan penggemar yang menyimpan foto-foto idolanya di
album.
Ia
hanya menyimpan Veraulina dihatinya. Dia Rela mati-matian datang ke
acara pentas Veraulina. Rela kehujanan. Rela membatalkan sesuatu yang
lebih penting demi menonton Veraulina.
Namun
sosok Veraulina yang dikaguminya,
ternyata berlatang belakang lain. Ia
adalah seorang gadis panti asuhan.
Dulu,
ketika
Veraulina masih bayi, ayah dan ibunya selalu ribut. Mereka tidak
akur. Ibu Veraulina sakit-sakitan dan terserang penyakit kanker.
Ibunya meninggal dunia sedangkan ayahnya menikah lagi setelah
menitipkan Veraulina kepada Bu Riri. Awalnya,
Bu Riri menolak.
tapi
ayah
Veraulina terus mendesak dengan mengatakan kelak akan mengambil
Veraulina lagi. Untuk menguatkan perjanjian itu, Bu Riri mengajukan
beberapa syarat, salah satunya adalah meminta foto dan alamat lengkap
Rixky;
ayah
Veraulina.
***
“Ini
foto ayahmu dan ini alamatnya.” Kata Riri, pengurus panti asuhan.
Bu Riri memeberikan foto dan selembar kertas kepada Veraulina.
“Terima
kasih, Bu.”
“Aku
sudah menceritakan semuanya
kepadamu
tentang ayahmu.
Apakah kamu yakin ingin menemuinya?”
“Tekadku
sudah bulat, Bu. Aku mohon pamit.”
Bu
Riri tidak bisa menolak lagi, “Hati-hati ya, Nak.”
Veraulina
menangis sambil mencium tangan Bu Riri. Bagaimanapun juga,
Bu Riri sudah seperti ibu kandungnya
sendiri.
“Sudahlah
Vera,
kamu
bisa kembali lagi ke sini.”
Veraulina
melangkah pergi. Namun langkahnya masih berat. Ia
menengok ke belakang,
dilihatnya Bu
Riri menganggukkan kepala.
Veraulina
menaiki
taksi menuju
stasiun Jakarta Kota. Kemudian menaiki
kereta api menuju Bandung.
Di sana, ternyata Rixky telah menjadi ayah pendusta, Veraulina tidak
diakui sebagai putri kandungnya, karena itu ia memutuskan kembali
lagi ke Jakarta.
Veraulina
kecewa. Ia
menangis. Menangis sejadi-jadinya. Baru pertama kali ini ia merasakan
sakit yang teramat sangat. Ketulusannya bagai terombang-ambing.
Kasihnya tidak diakui,
dibalas
dengan keangkuhan. Ia
baru menyadari betapa sakitnya tidak dihargai
itu.
Veraulina jatuh dan tidak dapat bangkit. Ia
menyerah untuk kembali kepada
ayahnya.
Teringatlah
ia
kepada Satya,
posisinya
sama seperti dirinya saat ini. Bedanya,
Satya tidak pernah menyerah meskipun ketulusannya tidak dihiraukan.
Ia
jatuh,
tetapi dapat bangkit.
Veraulina
menyadari semua itu.
Menyadari betapa tulusnya penggemarnya.
***
“Veraulina!
Veraulina!” suara penonton terdengar riuh tatkala Veraulina menaiki
panggung.
Sekembalinya
ke Jakarta,
Veraulina masih
menjadi
bintang idola.
Namun
Veraulina tidak pernah melihat Satya. Satya tak pernah ada dikursi
penonton. Satya tak pernah terlihat diluar gedung. Satya tiba-tiba
menghilang.
Kenapa
Veraulina mencari ketulusan yang selama ini ia acuhkan? Ia
membutuhkan ketulusan setelah mengerti arti ketulusan.
Di
mana orang itu? Di mana orang yang selalu mengalungkan kameranya
dileher? Siapa nama orang itu? Veraulina tidak akan pernah tahu.
Lagu
‘Setiap Waktu’
yang
kerap kali ia nyanyikan telah menghantui dirinya sendiri. Pandanglah
aku—Kenapa
kita jadi tak saling kenal—Aku
jatuh tanpa sayapku—Kukira
aku butuh dirimu—Dan
tiap kali kulihat kau—kulihat
wajahmu, wajahmu menghantuiku. Kukira aku membutuhkanmu—Kubayangkan
kau di sini hanya itulah caraku untuk melihat dengan jelas.
Veraulina
berjalan lunglai menuju mobil sepulang dari pentas. Tidak ada lagi
penggemar yang memberikan bunga. Tidak ada lagi penggemar yang selalu
menungguinya. Semua berbeda. Berbeda semenjak Satya tak lagi nampak.
Tidak ada yang mampu bertahan seperti Satya. Veraulina kehilangan
satu penggemarnya yang unik. Satya hanya satu. Tidak ada Satya yang
lain.
Di
mana dia? Hanya itu pertanyaan yang selalu hadir dipikirannya.
Veraulina
menginjak selembar koran.
Andai saja
ia
tahu,
berita utama yang tertulis dikoran itu: ‘Seorang
pemuda photographer
tewas
kecelaakaan ketika hendak menonton drama—”
Apakah orang yang
disebutkan dikoran itu adalah Satya? Tidak
diketahui lagi, ketika kedua kakinya
tanpa sengaja menyeret dan menyobek koran itu.
Mau bagaimanapun
juga Satya telah menunjukkan begitu pentingnya cinta.
Tanpa
ketulusan, bagai jatuh tanpa sayap.
_Selesai_ (2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar