Pada suatu sore
terbang seekor burung bondol jawa di atas keramaian kota. Satu minggu
yang lalu, ia tertinggal dari burung bondol lain yang telah memulai
perjalanan mereka. Matahari sudah hampir sampai ke peraduan, ketika
burung cantik itu beristirahat, bertengger di atas gedung.
Ia merindukan cinta.
Sawah-sawah yang menjadi surga kehidupan bagi mereka hilang.
Kebun-kebun tempat mereka bermain, berkumpul, dan bersuka ria telah
berubah menjadi gedung-gedung tinggi. Padang rumput, lapangan
terbuka bervegetasi, dan pohon-pohon rimbun sudah jarang mereka
temui. Untuk makan, mereka hanya memanfaatkan nasi kering yang
dijemur di pekarangan rumah-rumah.
“Aku
merindukan sarang berupa bola yang dibangun dari daun, bunga, dan
rumput berlapis-lapis yang kami letakkan tersembunyi di antara
ranting-ranting, atau celah-celah tangkai daun palma. Aku merindukan
telur-telur, suara anak-anak yang baru menetas.”
Satu
minggu yang lalu mereka tinggal di kabel-kabel listrik, di
tiang-tiang antena, dan di atap-atap rumah atau gedung. Mereka
ditembaki, diincar nyawanya, sehingga mereka hampir punah.
Berkembanglah ulat-ulat berbulu sampai merambat ke rumah-rumah
warga. Karena itulah mereka berimigrasi; pindah ke daerah lain yang
sangat jauh. Tapi burung bondol yang tertinggal dari rombongannya
ini,
sungguh malang. Tanpa teman-temannya,
ia buta jalan;
tak tahu arah. Ia sampai di daerah yang memiliki empat musim.
Sebentar lagi musim semi datang. Musim di mana bunga-bunga bersolek
indah, musim di mana alam seperti terlahir kembali.
“Dimusim
itu, aku akan mencari cinta.” Katanya.
Matahari
terbenam. Suasana kota masih ramai. Lampu-lampu di pinggir jalan
mulai menyala. Terlihat bocah laki-laki duduk meringkuk di bawah
cahaya lampu. Pakaiannya kumal, tubuhnya kurus pucat. Ia berdiri
dengan gerakan lambat. Mencari-cari sesuatu
di tong
sampah sambil bergumam, “Aku lapar.”
Bondol
kecil melihatnya. “Aku mendengar degupan cinta dihatiku.” Ia
terbang membawakan sepotong roti kepada bocah itu. “Ini cinta
dariku, kubawakan sepotong roti yang paling lezat dari kota ini.”
Bocah
itu menerima sepotong roti yang diberikan bondol kecil dan memakannya
sampai habis. Sambil mengusap-usap mulutnya yang belepotan bocah itu
berkata, “Aku masih lapar. Aku belum makan selama dua hari, dan kau
hanya membawakan sepotong roti.”
“Baiklah,”
kata bondol kecil. “Aku akan terbang mencari roti yang lebih besar
dan membawakannya kepadamu.”
Bondol
kecil kembali mencari roti yang lebih besar. Berturut-turut seperti
itu sampai si bocah merasa kenyang. Tulang-tulang bondol kecil
berkeretak. Bulu-bulu sayapnya banyak yang rontok. Dengan nafas
tersenggal-senggal, ia bertanya kepada sang bocah: “Semua cinta
telah kuberikan kepadamu. Apakah kau sudah kenyang?”
Jawab
bocah, “Aku sudah kenyang. Tapi tenggorokanku kering.”
“Baiklah,
aku akan terbang mencari air yang kutampung ke dalam plastik dan
membawakannya kepadamu.”
Malam
semakin pucat, kota semakin sepi. Bondol kecil membawakan sekantung
plastik air: “Ini cinta dariku, kubawakan sekantung air jernih.”
Si
bocah segera meminumnya. Wajahnya semakin bersinar. Tubuhnya semakin
berdaya. Ia kembali beraktivitas menjadi anak jalanan. Ia tak lagi
peduli pada bondol kecil. Uang yang diperolehnya
dari rumah ke rumah, bisa ia gunakan untuk membeli makanan.
Bondol
kecil terbang meninggalkan kota tersebut. Sampai pada kejauhan
tertentu, ia bertengger di atap rumah. Ia tampak murung.
Tubuhnya
kotor tak lagi indah.
Tapi
ketika teringat musim semi akan
segera tiba,
senyumannya merekah. “Sebentar lagi matahari terbit dari timur. Aku
akan pergi mencari cinta yang sesungguhnya. Di atas aliran sungai
yang jernih aku akan terbang menari-nari. Di atas taman yang
berwarna-warni aku akan bernyanyi merdu. Aku akan menemukan cinta
pada bunga-bunga yang bermekaran. Musim semi akan memberikan cahaya
cintanya kepadaku.” Kemudian Bondol kecil tertidur lelap.
Sang
surya menyoroti tubuhnya. Bondol kecil terbangun cri-ii—“Kusambut
kedatanganmu, musim semi!” bondol kecil terbang menari-nari
bahagia, bernyanyi merdu, ia melihat bunga-bunga bermekaran,
jenis-jenis aves berterbangan, kupu-kupu dan capung-capung bersuka
ria. Pemandangan alam yang menakjubkan. “Aku bahagia, sebentar lagi
menemukan cinta!” serunya.
Semua
tersenyum, tertawa, dan bergembira. Hanya satu yang tampak murung;
seekor ulat. Ulat itu merayap, meratap sedih di pucuk daun jeruk.
Bondol kecil memperhatikan gerak-geriknya. Ketika biji-bijian sulit
dicari, ulat adalah salah satu santapan yang paling lezat. Namun,
bondol kecil telah menambatkan cintanya kepada ulat, mana bisa ia
memakannya. “Aku mendengar degupan cinta dihatiku,” kata bondol
kecil. Bondol kecil terbang mendekati ulat, katanya: “Hai, ulat!
Musim semi adalah musim semua makhluk tersenyum gembira. Kenapa kau
meneteskan air mata?”
“Kau
jangan munafik!” jawab ulat sumbang. “Kau hanya ingin
menyantapku!”
“Aku
datang kemari bukan untuk menyantapmu. Percayalah. Kesedihanmu akan
menjadi kebahagian, seperti kehadiran pelangi setelah hujan. Aku akan
mendengarkan keluh kesahmu, ibarat simfoni bumi yang selalu didengar
oleh bulan.
Kata-kata
bondol kecil telah meyakinkan ulat. “Sebentar lagi aku akan menjadi
pupa. Tapi aku takut ada pemangsa menyantapku. Jika itu terjadi, aku
akan mati dan gagal menjadi kupu-kupu.”
“Aku
akan menjaga pupamu sampai kau bermetamorfosis. Aku akan bertengger
sepanjang hari didekatmu.”
Si
ulat tersenyum riang. Tanpa banyak kata-kata berubahlah ia menjadi
pupa. Sepanjang siang dan malam bondol kecil bertengger didekatnya.
Lapar dan haus tidak membuatnya beranjak dari tempat itu. Hari
berganti hari. Banyak pemangsa yang mencoba menyantap pupa, hingga
membuat bondol kecil mengalami pertarungan demi pertarungan. Bondol
kecil selalu menang, tapi tubuhnya penuh luka-luka. Di daerah itu,
bondol kecil menjadi terkenal karena kehebatannya. Terik matahari,
dingin malam yang menggigit, serta perih luka-lukanya telah
mengubahnya menjadi burung yang semakin kotor, bulu-bulunya rontok
dan tulang-tulang sayapnya mulai lemah.
Waktu
yang ditunggu-tunggu telah tiba. Pupa bergerak-gerak. Kemudian
membuka. Keluarlah seekor kupu-kupu merangkak ke atas. Sayapnya yang
lemah, kusut, dan agak basah menggantung ke bawah.
“Kau
sungguh indah.” Kata bondol kecil. “Pembentukan kupu-kupu dalam
pupa berlangsung selama dua puluh hari, selama itulah aku menjagamu
sampai kau bermetamorfosis. Aku melawan teriknya matahari, dinginnya
malam, dan pemangsa-pemangsa yang mengincar nyawamu.”
“Siapa
kau?”tanya kupu-kupu. “Aku tidak mengenalmu.”
“Aku
bondol jawa, mencintaimu semenjak kau masih berwujud ulat. Mari,
bersama-sama kita menyemarakkan keindahan musim semi.”
“Maaf,
burung kecil. Setelah sayapku kering, aku akan pergi meninggalkanmu.
Aku akan melakukan percobaan terbang bersama kupu-kupu lain,
memadukan sayap-sayap kami yang lebih indah dari seekor burung.”
Sayap kupu-kupu itu membuka dan menutup beberapa kali lalu mengembang
kuat. “Selamat tinggal, burung kecil!” katanya untuk yang
terakhir kali sambil terbang meninggalkan bondol kecil. Ia seperti
terlahir kembali, menjadi fase sempurna, tidak bisa mengingat
kesetiaan bondol kecil.
Bondol
kecil terbang tak tentu arah. Ia kembali merana, hatinya seperti
diiris-iris dengan sembilu, seperih luka-luka ditubuhnya. Karena
lelah terbang terlalu jauh, bondol kecil istirahat di ranting pohon.
Dari situ, ia melihat tangkai berduri yang tidak berbunga. “Aku
mendengar degupan cinta dihatiku. Musim semi belum berlalu,
seharusnya tangkai itu sudah berbunga. Aku merasa iba.”
“Hai,
burung kecil.” Sapa si tangkai. “Tubuhmu sangat kotor dan penuh
luka-luka. Kasihan sekali dirimu.
Wahai
burung cantik,
aku
ingin memberikanmu cinta. Tapi aku hanyalah tangkai berduri yang tak
berbunga. Seandainya aku berbunga, aku akan memberikanmu cinta yang
lebih indah dari musim semi.”
“Oh,
tangkai, jangan berkata
seperti itu. Aku hanyalah seekor burung kotor yang penuh luka-luka
disekujur tubuh. Bahkan aku tidak bisa terbang terlalu lama karena
sayap-sayapku terluka parah. Dengan begini, kita sama-sama memiliki
kekurangan. Kau yang paling mengerti penderitaanku, kau yang mau
mendengarkan keluh kesahku. Kau akan menjadi suamiku yang paling
indah.”
“Di
manakah kita akan hidup berdua? Musim semi belum berlalu, tapi aku
tak berbunga, mungkin tanah di sini kurang subur
dan aku tidak
pernah dirawat. Sekali lagi kukatakan, aku akan membalas cintamu jika
tangkaiku berbunga.”
“Wahai
calon suamiku, aku akan mencabut tangkaimu yang berduri, akan
kupindahkan di tanah yang paling subur, di mana bunga-bunga mudah
bermekaran. Di sana, kita laksana bulir, kuhabiskan waktuku
bertengger di pucuk-pucuk daun dan bungamu, yang akan kau tunjukkan
kepadaku sebagai tanda cintamu.”
“Ya,
calon istriku, sudah kujanjikan itu kepadamu, bahwa jika aku berbunga
nanti, aku akan memberikanmu cinta yang lebih indah dari musim semi
sekalipun.”
Dengan
sisa tenaganya bondol kecil mencabut tangkai berduri. Paruhnya
berdarah-darah. Setelah berhasil mencabutnya, ia membawanya terbang.
Duri-duri tajam menusuk-nusukki tubuhnya—ia mencari tempat yang
cocok untuk si tangkai. Luka-lukanya semakin menganga, dan
tulang-tulang sayapnya patah, sehingga ia terjatuh di pekarangan
rumah.
Cri-ii—dengan
suara yang hampir tak terdengar, bondol kecil berkata: “Di sini
tempat yang paling cocok untukmu.”
“Kau
terluka parah,” kata tangkai, “sayap-sayapmu patah, kulitmu
terkelupas, paruhmu mengalami pendarahan. Tapi kau belum menancapkan
aku di tanah ini.”
Nafas
bondol kecil memburu, degup jantungnya berlari, ia segera bangkit
perlahan-lahan membuat lubang di tanah dengan paruhnya. Semakin
perih, namun berhasil ia lakukan; memasukkan ujung tangkai ke dalam
lubang lalu menimbunnya lagi dengan tanah.
“Kau
berhasil, burung kecil! Kau berhasil!” seru si tangkai. “Tunggulah
cintaku sampai bunga-bunga mawar mekar di ujung-ujung tangkaiku.”
Matahari
hampir sampai di ufuk barat. Bondol kecil tak bisa bergerak. Matanya
berbinar.
Terlihat
gambaran teman-temannya berkumpul bahagia di padang rumput yang luas.
Kemudian
gambaran dimatanya berubah menjadi sebuah pemandangan yang lebih
indah; dari celah-celah gumpalan awan keluarlah seberkas cahaya yang
lebih terang daripada cahaya matahari. “Bawa pergi aku bersamamu,”
kata bondol kecil. “Cahaya itu begitu indah, murni, dan abadi. Aku
mencintainya.” Cahaya itu membalas cintanya, sebuah jiwa naik untuk
menghadap Tuhan. Bondol kecil telah menemukan cinta sejati. Di kebun
surga bondol kecil berkicau selama-lamanya.
Sedangkan
si tangkai, bunga-bunganya mulai bermekaran. “Lihatlah burung
kecil, aku telah memiliki banyak bunga mawar.” Tiada jawaban dari
sang burung. Si tangkai menangis sedih, “Oh, sungguh malang.
Kau
sudah mati. Bahkan tak sempat melihat keindahanku, tak sempat
merasakan belaian cintaku.”
Fajar
merekah, seorang gadis kecil membuka jendela kamarnya. Betapa
kagetnya gadis itu melihat bunga mawar yang sangat indah tumbuh di
kebun pekarangan rumahnya. Di bawah pohon mawar itu terlihat burung
bondol jawa terbujur kaku penuh luka-luka, sayap-sayapnya patah.
“Mama, papa, ada keajaiban!” jerit gadis itu. “Siapa yang
menanam bunga mawar di kebun kita?”
Di
tempat-tempat lain:
“Aku
benar-benar tidak bohong,” kata seorang bocah, “aku pernah
ditolong burung ajaib, dia pernah membawakan aku roti dan sekantung
air.”
“Aku
pernah bertarung melawan burung yang sangat kuat,” kata laba-laba
kepada para serangga.
“Ketika
itu, aku hendak menyantap pupa yang ia jaga.”
“Burung
cantik itu memiliki kesetiaan dan kesederhanaan.” Kata tangkai
mawar kepada aneka bunga.
Cerita-cerita
ajaib tentang bondol jawa mulai berkembang. Namun
tidak semua orang percaya. Cerita-cerita yang demikian hanya akan
menjadi dongeng. Kecuali kepada mereka yang pernah disentuh
jiwa-jiwanya, akan selalu mengingat bondol jawa. Cinta serta
kebaikannya begitu manis.
_Selesai_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar