Minggu, 29 Mei 2016

CERPEN: Bondol Jawa

Pada suatu sore terbang seekor burung bondol jawa di atas keramaian kota. Satu minggu yang lalu, ia tertinggal dari burung bondol lain yang telah memulai perjalanan mereka. Matahari sudah hampir sampai ke peraduan, ketika burung cantik itu beristirahat, bertengger di atas gedung. Ia merindukan cinta. Sawah-sawah yang menjadi surga kehidupan bagi mereka hilang. Kebun-kebun tempat mereka bermain, berkumpul, dan bersuka ria telah berubah menjadi gedung-gedung tinggi. Padang rumput, lapangan terbuka bervegetasi, dan pohon-pohon rimbun sudah jarang mereka temui. Untuk makan, mereka hanya memanfaatkan nasi kering yang dijemur di pekarangan rumah-rumah.
Aku merindukan sarang berupa bola yang dibangun dari daun, bunga, dan rumput berlapis-lapis yang kami letakkan tersembunyi di antara ranting-ranting, atau celah-celah tangkai daun palma. Aku merindukan telur-telur, suara anak-anak yang baru menetas.”
Satu minggu yang lalu mereka tinggal di kabel-kabel listrik, di tiang-tiang antena, dan di atap-atap rumah atau gedung. Mereka ditembaki, diincar nyawanya, sehingga mereka hampir punah. Berkembanglah ulat-ulat berbulu sampai merambat ke rumah-rumah warga. Karena itulah mereka berimigrasi; pindah ke daerah lain yang sangat jauh. Tapi burung bondol yang tertinggal dari rombongannya ini, sungguh malang. Tanpa teman-temannya, ia buta jalan; tak tahu arah. Ia sampai di daerah yang memiliki empat musim. Sebentar lagi musim semi datang. Musim di mana bunga-bunga bersolek indah, musim di mana alam seperti terlahir kembali.
Dimusim itu, aku akan mencari cinta.” Katanya.
Matahari terbenam. Suasana kota masih ramai. Lampu-lampu di pinggir jalan mulai menyala. Terlihat bocah laki-laki duduk meringkuk di bawah cahaya lampu. Pakaiannya kumal, tubuhnya kurus pucat. Ia berdiri dengan gerakan lambat. Mencari-cari sesuatu di tong sampah sambil bergumam, “Aku lapar.”
Bondol kecil melihatnya. “Aku mendengar degupan cinta dihatiku.” Ia terbang membawakan sepotong roti kepada bocah itu. “Ini cinta dariku, kubawakan sepotong roti yang paling lezat dari kota ini.”
Bocah itu menerima sepotong roti yang diberikan bondol kecil dan memakannya sampai habis. Sambil mengusap-usap mulutnya yang belepotan bocah itu berkata, “Aku masih lapar. Aku belum makan selama dua hari, dan kau hanya membawakan sepotong roti.”
Baiklah,” kata bondol kecil. “Aku akan terbang mencari roti yang lebih besar dan membawakannya kepadamu.”
Bondol kecil kembali mencari roti yang lebih besar. Berturut-turut seperti itu sampai si bocah merasa kenyang. Tulang-tulang bondol kecil berkeretak. Bulu-bulu sayapnya banyak yang rontok. Dengan nafas tersenggal-senggal, ia bertanya kepada sang bocah: “Semua cinta telah kuberikan kepadamu. Apakah kau sudah kenyang?”
Jawab bocah, “Aku sudah kenyang. Tapi tenggorokanku kering.”
Baiklah, aku akan terbang mencari air yang kutampung ke dalam plastik dan membawakannya kepadamu.”
Malam semakin pucat, kota semakin sepi. Bondol kecil membawakan sekantung plastik air: “Ini cinta dariku, kubawakan sekantung air jernih.”
Si bocah segera meminumnya. Wajahnya semakin bersinar. Tubuhnya semakin berdaya. Ia kembali beraktivitas menjadi anak jalanan. Ia tak lagi peduli pada bondol kecil. Uang yang diperolehnya dari rumah ke rumah, bisa ia gunakan untuk membeli makanan.
Bondol kecil terbang meninggalkan kota tersebut. Sampai pada kejauhan tertentu, ia bertengger di atap rumah. Ia tampak murung. Tubuhnya kotor tak lagi indah. Tapi ketika teringat musim semi akan segera tiba, senyumannya merekah. “Sebentar lagi matahari terbit dari timur. Aku akan pergi mencari cinta yang sesungguhnya. Di atas aliran sungai yang jernih aku akan terbang menari-nari. Di atas taman yang berwarna-warni aku akan bernyanyi merdu. Aku akan menemukan cinta pada bunga-bunga yang bermekaran. Musim semi akan memberikan cahaya cintanya kepadaku.” Kemudian Bondol kecil tertidur lelap.
Sang surya menyoroti tubuhnya. Bondol kecil terbangun cri-ii—“Kusambut kedatanganmu, musim semi!” bondol kecil terbang menari-nari bahagia, bernyanyi merdu, ia melihat bunga-bunga bermekaran, jenis-jenis aves berterbangan, kupu-kupu dan capung-capung bersuka ria. Pemandangan alam yang menakjubkan. “Aku bahagia, sebentar lagi menemukan cinta!” serunya.
Semua tersenyum, tertawa, dan bergembira. Hanya satu yang tampak murung; seekor ulat. Ulat itu merayap, meratap sedih di pucuk daun jeruk. Bondol kecil memperhatikan gerak-geriknya. Ketika biji-bijian sulit dicari, ulat adalah salah satu santapan yang paling lezat. Namun, bondol kecil telah menambatkan cintanya kepada ulat, mana bisa ia memakannya. “Aku mendengar degupan cinta dihatiku,” kata bondol kecil. Bondol kecil terbang mendekati ulat, katanya: “Hai, ulat! Musim semi adalah musim semua makhluk tersenyum gembira. Kenapa kau meneteskan air mata?”
Kau jangan munafik!” jawab ulat sumbang. “Kau hanya ingin menyantapku!”
Aku datang kemari bukan untuk menyantapmu. Percayalah. Kesedihanmu akan menjadi kebahagian, seperti kehadiran pelangi setelah hujan. Aku akan mendengarkan keluh kesahmu, ibarat simfoni bumi yang selalu didengar oleh bulan.
Kata-kata bondol kecil telah meyakinkan ulat. “Sebentar lagi aku akan menjadi pupa. Tapi aku takut ada pemangsa menyantapku. Jika itu terjadi, aku akan mati dan gagal menjadi kupu-kupu.”
Aku akan menjaga pupamu sampai kau bermetamorfosis. Aku akan bertengger sepanjang hari didekatmu.”
Si ulat tersenyum riang. Tanpa banyak kata-kata berubahlah ia menjadi pupa. Sepanjang siang dan malam bondol kecil bertengger didekatnya. Lapar dan haus tidak membuatnya beranjak dari tempat itu. Hari berganti hari. Banyak pemangsa yang mencoba menyantap pupa, hingga membuat bondol kecil mengalami pertarungan demi pertarungan. Bondol kecil selalu menang, tapi tubuhnya penuh luka-luka. Di daerah itu, bondol kecil menjadi terkenal karena kehebatannya. Terik matahari, dingin malam yang menggigit, serta perih luka-lukanya telah mengubahnya menjadi burung yang semakin kotor, bulu-bulunya rontok dan tulang-tulang sayapnya mulai lemah.
Waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba. Pupa bergerak-gerak. Kemudian membuka. Keluarlah seekor kupu-kupu merangkak ke atas. Sayapnya yang lemah, kusut, dan agak basah menggantung ke bawah.
Kau sungguh indah.” Kata bondol kecil. “Pembentukan kupu-kupu dalam pupa berlangsung selama dua puluh hari, selama itulah aku menjagamu sampai kau bermetamorfosis. Aku melawan teriknya matahari, dinginnya malam, dan pemangsa-pemangsa yang mengincar nyawamu.”
Siapa kau?”tanya kupu-kupu. “Aku tidak mengenalmu.”
Aku bondol jawa, mencintaimu semenjak kau masih berwujud ulat. Mari, bersama-sama kita menyemarakkan keindahan musim semi.”
Maaf, burung kecil. Setelah sayapku kering, aku akan pergi meninggalkanmu. Aku akan melakukan percobaan terbang bersama kupu-kupu lain, memadukan sayap-sayap kami yang lebih indah dari seekor burung.” Sayap kupu-kupu itu membuka dan menutup beberapa kali lalu mengembang kuat. “Selamat tinggal, burung kecil!” katanya untuk yang terakhir kali sambil terbang meninggalkan bondol kecil. Ia seperti terlahir kembali, menjadi fase sempurna, tidak bisa mengingat kesetiaan bondol kecil.
Bondol kecil terbang tak tentu arah. Ia kembali merana, hatinya seperti diiris-iris dengan sembilu, seperih luka-luka ditubuhnya. Karena lelah terbang terlalu jauh, bondol kecil istirahat di ranting pohon. Dari situ, ia melihat tangkai berduri yang tidak berbunga. “Aku mendengar degupan cinta dihatiku. Musim semi belum berlalu, seharusnya tangkai itu sudah berbunga. Aku merasa iba.”
Hai, burung kecil.” Sapa si tangkai. “Tubuhmu sangat kotor dan penuh luka-luka. Kasihan sekali dirimu. Wahai burung cantik, aku ingin memberikanmu cinta. Tapi aku hanyalah tangkai berduri yang tak berbunga. Seandainya aku berbunga, aku akan memberikanmu cinta yang lebih indah dari musim semi.”
Oh, tangkai, jangan berkata seperti itu. Aku hanyalah seekor burung kotor yang penuh luka-luka disekujur tubuh. Bahkan aku tidak bisa terbang terlalu lama karena sayap-sayapku terluka parah. Dengan begini, kita sama-sama memiliki kekurangan. Kau yang paling mengerti penderitaanku, kau yang mau mendengarkan keluh kesahku. Kau akan menjadi suamiku yang paling indah.”
Di manakah kita akan hidup berdua? Musim semi belum berlalu, tapi aku tak berbunga, mungkin tanah di sini kurang subur dan aku tidak pernah dirawat. Sekali lagi kukatakan, aku akan membalas cintamu jika tangkaiku berbunga.”
Wahai calon suamiku, aku akan mencabut tangkaimu yang berduri, akan kupindahkan di tanah yang paling subur, di mana bunga-bunga mudah bermekaran. Di sana, kita laksana bulir, kuhabiskan waktuku bertengger di pucuk-pucuk daun dan bungamu, yang akan kau tunjukkan kepadaku sebagai tanda cintamu.”
Ya, calon istriku, sudah kujanjikan itu kepadamu, bahwa jika aku berbunga nanti, aku akan memberikanmu cinta yang lebih indah dari musim semi sekalipun.”
Dengan sisa tenaganya bondol kecil mencabut tangkai berduri. Paruhnya berdarah-darah. Setelah berhasil mencabutnya, ia membawanya terbang. Duri-duri tajam menusuk-nusukki tubuhnya—ia mencari tempat yang cocok untuk si tangkai. Luka-lukanya semakin menganga, dan tulang-tulang sayapnya patah, sehingga ia terjatuh di pekarangan rumah.
Cri-ii—dengan suara yang hampir tak terdengar, bondol kecil berkata: “Di sini tempat yang paling cocok untukmu.”
Kau terluka parah,” kata tangkai, “sayap-sayapmu patah, kulitmu terkelupas, paruhmu mengalami pendarahan. Tapi kau belum menancapkan aku di tanah ini.”
Nafas bondol kecil memburu, degup jantungnya berlari, ia segera bangkit perlahan-lahan membuat lubang di tanah dengan paruhnya. Semakin perih, namun berhasil ia lakukan; memasukkan ujung tangkai ke dalam lubang lalu menimbunnya lagi dengan tanah.
Kau berhasil, burung kecil! Kau berhasil!” seru si tangkai. “Tunggulah cintaku sampai bunga-bunga mawar mekar di ujung-ujung tangkaiku.
Matahari hampir sampai di ufuk barat. Bondol kecil tak bisa bergerak. Matanya berbinar. Terlihat gambaran teman-temannya berkumpul bahagia di padang rumput yang luas. Kemudian gambaran dimatanya berubah menjadi sebuah pemandangan yang lebih indah; dari celah-celah gumpalan awan keluarlah seberkas cahaya yang lebih terang daripada cahaya matahari. “Bawa pergi aku bersamamu,” kata bondol kecil. “Cahaya itu begitu indah, murni, dan abadi. Aku mencintainya.” Cahaya itu membalas cintanya, sebuah jiwa naik untuk menghadap Tuhan. Bondol kecil telah menemukan cinta sejati. Di kebun surga bondol kecil berkicau selama-lamanya.
Sedangkan si tangkai, bunga-bunganya mulai bermekaran. “Lihatlah burung kecil, aku telah memiliki banyak bunga mawar.” Tiada jawaban dari sang burung. Si tangkai menangis sedih, “Oh, sungguh malang. Kau sudah mati. Bahkan tak sempat melihat keindahanku, tak sempat merasakan belaian cintaku.”
Fajar merekah, seorang gadis kecil membuka jendela kamarnya. Betapa kagetnya gadis itu melihat bunga mawar yang sangat indah tumbuh di kebun pekarangan rumahnya. Di bawah pohon mawar itu terlihat burung bondol jawa terbujur kaku penuh luka-luka, sayap-sayapnya patah. “Mama, papa, ada keajaiban!” jerit gadis itu. “Siapa yang menanam bunga mawar di kebun kita?”
Di tempat-tempat lain:
Aku benar-benar tidak bohong,” kata seorang bocah, “aku pernah ditolong burung ajaib, dia pernah membawakan aku roti dan sekantung air.”
Aku pernah bertarung melawan burung yang sangat kuat,” kata laba-laba kepada para serangga.Ketika itu, aku hendak menyantap pupa yang ia jaga.”
Burung cantik itu memiliki kesetiaan dan kesederhanaan.” Kata tangkai mawar kepada aneka bunga.
Cerita-cerita ajaib tentang bondol jawa mulai berkembang. Namun tidak semua orang percaya. Cerita-cerita yang demikian hanya akan menjadi dongeng. Kecuali kepada mereka yang pernah disentuh jiwa-jiwanya, akan selalu mengingat bondol jawa. Cinta serta kebaikannya begitu manis.


_Selesai_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar