Sudah dua tahun
Darwo bekerja sebagai pemungut sampah. Umur Darwo sekarang 20 tahun.
Sangat sulit baginya mencari pekerjaan, dengan ikhlas dan tulus ia
menggantikan pekerjaan ayahnya. Darwo tidak sekolah sejak lulus SMP.
Ia tidak punya dana untuk melanjutkan ke SMA.
Suatu hari, ia
memungut sampah di daerah paling ujung dari kampungnya.Ia berhenti di
rumah besar. Di depan gerbang rumah itu banyak tumpukan sampah yang
sudah siap untuk dibuang.
“Sampah orang kaya
pasti banyak barang berharga.” Kata Darwo dalam hati. Sebelum
memasukkan sampah-sampah itu kedalam gerobaknya, ia mencari-cari
barang yang berharga di sampah itu. Siapa tahu ada barang yang
berharga lalu bisa dijual. Pikirnya. “Foto siapa ini?” kata Darwo
ketika menemukan selembar foto gadis cantik. “Artis mungkin. Atau
jangan-jangan penghuni rumah besar ini? Masih bagus begini dibuang.
Dasar orang kaya. Mereka bisa berfoto seribu kali kalau mau. Aku
pungut saja ah.” Darwo memasukkan foto itu dikantongnya.
Jam lima sore Darwo
menyelesaikan pekerjaannya. Setelah makan malam seadanya, Darwo
tiduran dikamar sambil melihat foto yang ia pungut. Ia tertarik pada
gadis itu. “Siapa dia? Sudah dua tahun aku mengambil sampah di
rumah itu tapi belum pernah melihat siapa penghuni rumahnya. Rumah
itu selalu sepi.”
Berhari-hari telah
berlalu. Darwo sering lewat didepan rumah besar agar bisa melihat
gadis itu, tapi percuma. Darwo selalu dihadapkan dengan pemandangan
rumah yang sepi. Suatu hari, ia ingin foto itu dilukis oleh seorang
pelukis. Ia mengambil uang tabungannya, kemudian bergegas mencari
seorang pelukis. Ia ke rumah temannya yang bernama Surya.
“Sur, kamu punya
teman yang bisa melukis?” tanya Darwo yang sudah berada di rumah
Surya.
“Punya, memangnya
kenapa?” tanya Surya.
“Aku mau pesan
lukisan. Di mana alamatnya?”
“Jauh.”
“Duh! Aku tidak
punya kendaraan.”
“Temanku kusuruh
datang ke sini saja. Nanti aku SMS.”
“Terima kasih. Ya
sudah, aku pulang dulu.”
Sudah dua hari Darwo
menunggu kabar dari Surya. Keinginan Darwo semakin menggebu, ia pun
hendak ke rumah Surya lagi. Tapi sebelum beranjak pergi, terdengar
suara motor. Ternyata pengendaranya adalah Surya. Darwo langsung
keluar. “Sur, aku tadi mau ke rumahmu, tapi kamu lebih dulu datang
ke sini. Pelukis itu bisa ke sini?”
“Bisa! Katanya
nanti sore dia mau ke rumahmu.”
Setelah
berbincang-bincang sebentar, Surya pulang.
Darwo menunggu
dengan sabar di depan rumah. Ia berharap pelukis itu akan segera
datang.
“Menunggu siapa
Dar?” kata ibu Darwo.
“Yang aku
ceritakan itu lho, Bu. Kemarin aku ke rumah Surya minta tolong untuk
dicarikan seorang pelukis. Sebentar lagi pelukis itu mau datang ke
sini.”
“Ah, kamu itu
aneh!”
“Aneh gimana, Bu?”
“Kalau kamu
tertarik sama cewek yang difoto itu, datangin saja langsung ke
rumahnya. Pakai menyuruh dilukiskan orang segala!”
“Rumahnya sepi
terus. Aku malu kalau harus mengetuk pintunya. Saat ini, aku cuma mau
gadis itu dilukis. Lalu aku pajang dikamar.” Kata Darwo sambil
senyum-senyum.
“Kalau lukisannya
mahal?”
“Mudah-mudahan
tidak. Kemarin aku sudah mengambil uang tabungan.”
“Terserah kamu
Dar!” ibu Darwo melengos pergi.
Beberapa menit
kemudian pelukis yang ditunggu-tunggu Darwo datang. Ia dipersilakan
masuk oleh Darwo. Mereka duduk diruang tamu. Pelukis itu eksentrik.
Umurnya sekitar 50 tahun. Rambutnya sudah memutih, berjenggot dan
memakai kacamata. Namanya Van Kurniawan, keturunan Indonesia Belanda.
“Kamu mau pesan
lukisan apa?” tanya Van Kurniawan.
“Ini Pak,” Darwo
memberikan foto.
“Maksudmu aku
disuruh melukis gadis di foto ini? Ini pacar kamu ya?”
“Bukan pacar kok.
Kira-kira berapa ya Pak, harga satu lukisan?”
“Ya tergantung.
Kalau cuma melukis dikertas ukuran poster harganya seratus ribu.
Kalau dikanvas bisa lebih mahal.”
“Dikertas saja
Pak.”
“Kira-kira satu
minggu lukisannya sudah selesai. Besok aku bawa ke sini. Atau kamu
yang ke rumahku saja. Ini alamatku.” Van Kurniawan memberikan kartu
nama pada Darwo. Setelah itu ia pulang.
Sudah seminggu lebih
Darwo menunggu kedatangan Van Kurniawan. “Sudah hampir dua minggu
Pak Kurniawan kok belum ke sini ya?” gumam Darwo dalam hati. Ia
duduk di teras rumahnya. “Lebih baik aku ke rumahnya saja.”
Dengan menaiki
angkutan umum, Darwo menuju rumah Van Kurniawan.
Sesampainya di rumah
itu, Darwo mengetuk pintu. Dibukalah oleh seorang wanita.
“Mau mencari siapa
ya?”
“Saya mau mencari
Pak Kurniawan.”
“Pak Kurniawan
sudah meninggal—”
Mendengar kata-kata
itu Darwo kaget setengah mati. “Meninggal? Kenapa Pak Kurniawan
meninggal? Sejak kapan beliau meninggal?”
“Beliau meninggal
empat hari yang lalu. Belum diketahui penyebabnya, masih dalam
penyelidikan polisi. Ada bekas cekikan tangan dileher dan coretan cat
poster diwajah. Aku sangat sedih.”
“Aku turut
prihatin—bolehkah
aku mengambil foto milikku yang dibawa Pak Kurniawan?”
“O, ya! Tunggu di
sini.” Istri Van Kurniawan masuk ke rumah. Tak berapa lama kemudian
ia keluar. “Ini Nak,” istri
Van Kurniawan memberikan foto gadis itu. Darwo menerimanya.
“Dan—sudah
selesaikah lukisan pesananku?”
“Belum Nak.
Suamiku meninggal setelah membuat sketsa gambar gadis difoto itu.
Polisi kesulitan menemukan apa penyebab kematian suamiku. Ada pula
yang menduga beliau bunuh diri.”
“Aneh,” pikir
Darwo, “lebih baik aku pulang saja. Aku suruh orang lain untuk
melukis gadis difoto ini.”
Dua hari setelahnya,
Darwo menemukan seniman lukis yang baru. Namun pelukis itu juga
meninggal ketika foto yang ia lukis hampir selesai. Ia meninggal
dengan mengenaskan. Kedua matanya tertusuk pensil. Namun Darwo
menganggap kejadian itu hanyalah kebetulan saja. Ia tetap mencari
seorang pelukis lain untuk melukis gadis difoto itu.
Darwo menemukan
pelukis baru. Dia bernama Andik. Andik menerima pesanan Darwo. Tapi
baru tiga hari kerja, Andik datang menemui Darwo.
“Lukisannya sudah
selesai?” tanya Darwo pada Andik. Mereka duduk di ruang tamu.
“Belum—sebenarnya
aku datang ke sini hanya ingin mengembalikan foto ini. Aku tidak mau
melukis gadis difoto ini.”
“Lho kenapa?”
“Perasaanku tidak
enak. Dua hari yang lalu aku sering bermimpi buruk. Sebenarnya siapa
gadis difoto ini?”
“Dia—dia—”
Darwo bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Jika mengaku tidak
mengenali gadis itu, Andik pasti tidak mau melukisnya.
Darwo terpaksa
berbohong. “Dia pacarku. Sudahlah, lukis saja gadis itu.”
Andik mengangguk
tanda setuju.
Satu hari
setelahnya, Darwo lagi-lagi dikejutkan oleh kabar yang memilukan.
Andik meninggal akibat kecelakaan. Tiga pelukis telah meninggal
ketika melukis gadis difoto itu. Darwo mulai penasaran, pasti ada
keanehan yang ada hubungannya dengan foto yang ia temukan.
Ia pun meberanikan
diri untuk bertamu ke rumah besar di mana ia pernah menemukan foto
itu. Setelah menekan bel, seorang laki-laki berkumis membukakan
pintu.
“Cari siapa?”
“Maaf, Bapak tahu
siapa gadis ini?” Darwo menunjukkan foto itu.
“Dia putriku yang
sudah meninggal satu bulan yang lalu.”
Mendengar itu,
Jantung Darwo seakan mau copot. Hatinya berdebar-debar. Karena selama
ini ia mengagumi gadis yang ternyata sudah meninggal.
“Kok aku jarang
melihatnya?”
“Ya jelas jarang.
Dia tinggal di luar kota. Di mana kamu menemukan foto itu?
“Di sampah depan
rumah Bapak.”
“Terus ada perlu
apa kamu menunjukkan foto itu kepadaku?”
“Foto ini aneh.”
“Aneh gimana?”
“Setiap orang yang
berusaha melukis foto ini pasti mati.”
“Kurang ajar!
Bicaramu sembarangan. Cepat pergi! Jangan ungkit-ungkit putriku yang
sudah meninggal!” laki-laki itu marah, kemudian menutup pintunya
keras-keras.
Darwo pulang membawa
foto itu kembali.
Dalam perjalanan, ia
berpikir: “Masa sih, foto kayak gini bisa menyebabkan kematian?
Mungkin cuma kebetulan saja para pelukis itu mati. Sebaiknya aku
mencoba melukis gadis ini sebisaku. Dan aku tidak mau mengaguminya
lagi, karena ternyata dia sudah meninggal. Tapi kasihan juga—gadis
ini kan masih muda dan cantik.” Darwo berjalan sambil memandangi
foto itu.
Sesampainya di
rumah, Darwo disuruh menunggu rumah oleh kedua orang tuanya. Karena
mereka akan pulang kampung selama tiga hari.
“Dar, kamu
menunggu rumah ya, jangan lupa sama pekerjaanmu.” Kata Ayah Darwo.
“Iya Pak.”
Malam harinya rumah
Darwo menjadi sepi senyap. Rumah Darwo jauh dari rumah-rumah lain.
Kini Darwo tinggal sendiri.
“Aku mau mencoba
melukis gadis ini.” Kata Darwo yang duduk di kursi kamarnya. Ia
mengambil selembar kertas dan pensil. Darwo mulai menggambar
dimejanya. Ia tidak bisa melukis, cuma asal corat-coret. Baru saja
menggambar matanya, tiba-tiba terdengar suara dentuman keras dari
arah atap rumahnya. Membuat Darwo kaget. “Suara apa ya?” Kata
Darwo lirih, sambil melihat atap rumahnya.
Selanjutnya ia
menggambar mata yang sebelah kiri. Keanehan pun terjadi lagi. Jendela
kaca kamar Darwo tiba-tiba diketuk. Ia buka gordennya, tapi yang
terlihat hanya kegelapan malam, tidak ada satu orang pun berada di
situ. Bulu kuduk Darwo semakin dingin, seperti ada yang meniupnya.
“Setiap kali aku mulai menggambar pasti ada sesuatu yang bikin aku
merinding.” Gumamnya.
Kemudian Darwo mulai
menggambar lagi. Baru saja menggambar hidung gadis itu, terdengar
seorang gadis memanggil-manggil nama Darwo dengan lirih.
“Darwo—Darwo—”
Darwo ketakutan. Ia berdiri menjahui mejanya. Berjaga-jaga bila ada
sesuatu yang mengancam.
Tiba-tiba pensil
Darwo bergerak sendiri. Pensil itu menuliskan nama dikertas yang
dipakai Darwo untuk menggambar. Setelah menuliskan nama ARA, pensil
itu jatuh.
“Ara? Ara itu
siapa?” Jantung Darwo berdegup kencang.
“Hi hi hi hi—”
Terdengarlah suara tawa. “Aku gadis yang ada difoto itu. Namaku
Ara.”
Mendadak pintu kamar
Darwo menutup dengan sendirinya. Darwo berusaha membuka pintu itu
namun sia-sia. Pintu itu terkunci. “Tolong! Jangan ganggu aku!”
teriaknya.
Darwo dikejutkan
oleh sesosok menakutkan. Seorang gadis berambut panjang dengan wajah
penuh luka. Sosok itu berdiri disudut dinding kamar Darwo.
Gadis itu berkata:
“Lihatlah wajahku ini, aku meninggal akibat kecelakaan. Wajah
cantikku rusak. Aku ingin cantik! Jangan melukisku, jika lukisanmu
tidak sama persis dengan yang ada difoto.” Arwah gentayangan itu
menjulurkan kedua tangannya.
“Jangan!” pekik
Darwo.
Leher Darwo dicekik
hingga tewas.
Arwah itu melayang
menembus dinding. Menyisakan asap putih yang kemudian lenyap
dikegelapan malam. Siapa yang berani melukis gadis cantik yang
ternyata sudah meninggal? Jangan bilang berani, jika arwah gadis itu
ingin cantik seperti Ara ….
_Selesai_ 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar