Minggu, 29 Mei 2016

CERPEN: Secangkir Kopi

JOE adalah pemuda yang paling beruntung. Ia memenangkan lomba. Memenangkan kuis. Memenangkan undian. Segala macam yang berbabau uang ia selalu beruntung. Mungkin keberuntungan Joe yang berturut-turut ini jarang terjadi. Namun memang demikianlah kehendak Tuhan.
Rumah besar berlantai tiga, halaman luas berumput hijau, dan satu mobil berwarna merah. Itulah kekayaan Joe yang berasal dari keberuntungan. Joe menjadi kaya raya diumurnya yang baru dua puluh lima tahun.
Kenapa kau mau menikahi aku yang sudah janda, Joe?” kata istrinya sambil menaruhkan secangkir kopi di meja.
Sudah kukatakan berulang kali sebelum kita menikah, Sayang. Kau cantik. Wajahmu bersinar, rambutmu panjang, dan bibirmu manis. Semerah buah jambu.” Joe berhenti berkata. Tetapi kedua matanya terus bergerak mengamati kopi buatan istrinya. “Lagi pula kau janda yang belum beranak.” Katanya lagi.
Tapi aku lebih tua darimu.”
Tiga tahun lebih tua dariku, tak masalah.” Joe menatap istrinya penuh selidik. “Aku baru tahu, kenapa kau mau hidup bersamaku. Sayangnya aku terlambat mengetahui semua ini.
Apa maksudmu? Aku mencintaimu Joe, karena kau tulus mencintaiku.
Oh ya?” kedua alis Joe bergerak ke atas. “Hm, sepertinya kau lupa lagi. Aku tidak suka kopi. Singkirkan kopi itu.”
Maaf, aku lupa.” Kata istrinya sambil pergi membawa kopi itu ke dapur.
Ketika ia kembali, Joe mengecup pipinya. “Sudah malam, ayo kita tidur. Besok aku mau pergi.”
Istrinya tersenyum sambil menganggukkan kepala.
Pagi hari yang cerah. Sebelum Joe berangkat, istrinya menyediakan secangkir kopi di meja ruang tamu. Joe melihat kopi itu, kemudian ia menggeleng-gelengkan kepala. “Sudah kubilang puluhan kali sejak kita menikah. Aku tidak suka kopi, Sayang!
Oh, maaf. Aku akan menggantinya dengan secangkir teh.”
Sebelum istrinya beranjak pergi, Joe memanggilnya. “Sonia! Sekarang aku mau pergi. Tak perlu repot membuatkan teh.”
Istrinya membalikkan badan, Joe langsung mengecup pipinya.
Setelah Joe pergi, Sonia masuk ke kamar.
Ia membuka lemari baju. Mengambil sebuah kotak. Lalu membuka kotak itu perlahan-lahan. “Indah sekali kalung dan cincin ini.” Ia tersenyum, mengagumi emas dan perak pemberian Joe.
***
Joe bertemu temannya di sebuah cafe.
Joe, aku butuh bantuanmu.” Kata temannya. “Kau si Raja Untung. Tak banyak orang yang mengetahui sepak terjangmu, mencari keuntungan lewat segala macam undian dan kuis. Tapi aku tahu tentangmu, kau teman dekatku. Manis pahit pernah kita rasakan bersama.
Tak perlu menyanjungku, Bram. Langsung saja katakan. Apa yang ingin kau butuhkan. Uang?”
Ya, uang. Eh, bukan. Maksudku ada hubungannya dengan uang.” Ia menyebulkan asap rokoknya sebelum melanjutkan bicara. “Aku mau ikut undian acara tahunan di kampungku. Tiketnya seharga sepuluh ribu. Aku akan membeli tiket itu dan kau yang menyerahkannya ke panitia. Aku yakin pasti akan menang. Berkat tanganmu.
Joe tertawa. “Ok!” katanya singkat.
Jika aku menang, kau akan kuberi bagiandan
Tunggu!” Joe memotong perkataan Bram. “Orang itu memesan kopi.” Kata Joe sambil menggerakkan kepalanya ke arah orang yang baru saja datang.
Kau juga suka kopi? Mari kita pesan,” kata Bram.
Tidak. Kopi itu hanya mengingatkanku.” Joe menatap Bram yang masih asyik merokok. “Aku mau membantumu tentang undian itu. Asalkan kau mau mendengarkan sedikit ceritaku.”
Bram mengangguk.
Joe mulai bercerita. “Aku beruntung dalam hal uang, tapi tidak beruntung dalam hal pernikahan. Aku punya masalah, Bram. Istriku tahu aku suka teh, tapi dia selalu menyuguhkan kopi. Kau tahu apa artinya?”
Maaf kawan. Aku belum menikah. Aku tak mengerti masalah rumah tangga.”
Secara tidak sadar istriku telah membuatku jengkel. Rasa cintaku memudar. Secangkir kopisecangkir kopi” Joe mengulangi perkataannya sambil berpikir. Meyakinkan dirinya sendiri, bahwa dugaannya pasti benar. “Istriku tidak bisa melupakan mantan suaminya.”
***
Hari berikutnya.
Joe sedang membaca koran pagi di halaman rumah. Istrinya muncul dan membawakan secangkir kopi.
Buang! Dan ganti dengan teh!” kata Joe bernada sumbang.
Istrinya takut. Ia buru-buru membuang kopi itu. Lalu masuk ke dalam rumah, berniat menggantinya dengan teh.
Sonia tidak bisa melupakan kebiasaannya ketika menjadi istri mantan suaminya; Thomas. Setiap pagi ia sering menyiapkan kopi untuk Thomas. Kebiasaan itu berlanjut hingga ia memiliki suami yang baru; Joe. Setiap pagi dan malam ia selalu menyediakan kopi untuk Joe.
Joe tidak menyukai secangkir kopi. Dalam arti lain, ia tidak menyukai Sonia yang masih terbawa masa lalu. Tetapi ia tidak pernah menegaskan bahwa dirinya hanya sebagai pelarian Sonia, atau sebagai pelampiasan materi.
Hari-hari berikutnya Joe sering pulang malam. Ia mencari penghiburan untuk menenangkan hati.
Ketika ia pulang ke rumah dan mengucapkan selamat tidur kepada Sonia, ada sedikit hal aneh yang tidak dimengerti Sonia.
Selamat tidur, Sayang” Joe mengecup bibir istrinya.
Jika Sonia peka seperti joe, ia pasti tahu. Joe sering mengecup pipi sebelum pergi atau sebelum tidur. Tetapi baru-baru ini ia mengecup bibirnya.
Sonia sedang dalam proses mengubah kebiasaan di masa lalunya. Sedangkan Joe baru saja dihinggapi kebiasaan-kebiasaan masa kini. Selama pergi pulang malam, siapa yang tahu jika Joe mempunyai kebiasaan mengecup bibir wanita lain?
Ini Secangkir kopinya, Sayang,” kata Sonia diwaktu lain.
Dan ini kecupanku, Sayang,” balas Joe.
Kesan harmonis yang menyembunyikan sesuatu. Hanya tinggal menunggu waktu. Mereka saling menutup diri.
Menutupi pasangan gelapnya masing-masing


~Sekian~(2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar