JOE
adalah pemuda yang paling beruntung. Ia memenangkan lomba.
Memenangkan kuis. Memenangkan undian. Segala macam yang berbabau uang
ia selalu beruntung. Mungkin keberuntungan Joe yang berturut-turut
ini jarang terjadi. Namun memang demikianlah kehendak Tuhan.
Rumah
besar berlantai tiga, halaman luas berumput hijau, dan satu mobil
berwarna merah. Itulah kekayaan Joe yang berasal dari keberuntungan.
Joe menjadi kaya raya diumurnya yang baru dua puluh lima tahun.
“Kenapa
kau mau menikahi aku yang sudah janda, Joe?” kata istrinya sambil
menaruhkan secangkir kopi di meja.
“Sudah
kukatakan berulang kali sebelum kita menikah, Sayang. Kau cantik.
Wajahmu bersinar, rambutmu panjang, dan bibirmu manis. Semerah buah
jambu.” Joe berhenti berkata. Tetapi kedua matanya terus bergerak
mengamati kopi buatan istrinya. “Lagi
pula
kau janda yang belum beranak.” Katanya lagi.
“Tapi
aku lebih tua darimu.”
“Tiga
tahun lebih tua dariku, tak masalah.”
Joe menatap istrinya penuh selidik. “Aku baru tahu, kenapa kau mau
hidup bersamaku. Sayangnya aku terlambat mengetahui semua ini.”
“Apa
maksudmu? Aku mencintaimu Joe, karena kau tulus mencintaiku.”
“Oh
ya?” kedua alis Joe bergerak ke atas. “Hm, sepertinya kau lupa
lagi. Aku tidak suka kopi. Singkirkan kopi itu.”
“Maaf,
aku lupa.” Kata istrinya sambil pergi membawa kopi itu ke dapur.
Ketika
ia kembali, Joe mengecup pipinya. “Sudah malam, ayo kita tidur.
Besok aku mau pergi.”
Istrinya
tersenyum sambil menganggukkan kepala.
Pagi
hari yang cerah. Sebelum Joe berangkat, istrinya menyediakan
secangkir kopi di meja ruang tamu. Joe melihat kopi itu, kemudian ia
menggeleng-gelengkan kepala. “Sudah kubilang puluhan kali sejak
kita menikah. Aku tidak suka kopi, Sayang!”
“Oh,
maaf. Aku akan menggantinya dengan secangkir teh.”
Sebelum
istrinya beranjak pergi, Joe memanggilnya. “Sonia! Sekarang aku mau
pergi. Tak perlu repot membuatkan teh.”
Istrinya
membalikkan badan, Joe langsung mengecup pipinya.
Setelah
Joe pergi, Sonia masuk ke kamar.
Ia
membuka lemari baju. Mengambil sebuah kotak. Lalu membuka kotak itu
perlahan-lahan. “Indah sekali kalung dan cincin ini.” Ia
tersenyum, mengagumi emas dan perak pemberian Joe.
***
Joe
bertemu temannya di sebuah cafe.
“Joe,
aku butuh bantuanmu.” Kata temannya. “Kau si Raja Untung. Tak
banyak orang yang mengetahui sepak terjangmu, mencari keuntungan
lewat segala macam undian dan kuis. Tapi aku tahu tentangmu, kau
teman dekatku. Manis pahit pernah kita rasakan bersama.”
“Tak
perlu menyanjungku, Bram. Langsung saja katakan. Apa yang ingin kau
butuhkan. Uang?”
“Ya,
uang. Eh, bukan. Maksudku ada hubungannya dengan uang.” Ia
menyebulkan asap rokoknya sebelum melanjutkan bicara. “Aku mau ikut
undian acara tahunan di kampungku. Tiketnya seharga sepuluh ribu. Aku
akan membeli tiket itu dan kau yang menyerahkannya ke panitia. Aku
yakin pasti akan menang. Berkat tanganmu.”
Joe
tertawa. “Ok!” katanya singkat.
“Jika
aku menang, kau akan kuberi bagian—dan—”
“Tunggu!”
Joe memotong perkataan Bram. “Orang itu memesan kopi.” Kata Joe
sambil menggerakkan kepalanya ke arah orang yang baru saja datang.
“Kau
juga suka kopi? Mari kita pesan,” kata Bram.
“Tidak.
Kopi
itu hanya
mengingatkanku.”
Joe menatap Bram yang masih asyik merokok. “Aku mau membantumu
tentang undian itu. Asalkan kau mau mendengarkan sedikit ceritaku.”
Bram
mengangguk.
Joe
mulai bercerita. “Aku beruntung dalam hal uang, tapi tidak
beruntung dalam hal pernikahan. Aku punya masalah, Bram. Istriku tahu
aku suka teh, tapi dia selalu menyuguhkan kopi. Kau tahu apa
artinya?”
“Maaf
kawan. Aku belum menikah. Aku tak mengerti masalah rumah tangga.”
“Secara
tidak sadar istriku telah membuatku jengkel. Rasa cintaku memudar.
Secangkir kopi—secangkir
kopi—”
Joe mengulangi perkataannya sambil berpikir. Meyakinkan dirinya
sendiri, bahwa dugaannya pasti benar. “Istriku tidak bisa melupakan
mantan suaminya.”
***
Hari
berikutnya.
Joe
sedang membaca koran pagi di halaman rumah. Istrinya muncul dan
membawakan secangkir kopi.
“Buang!
Dan ganti dengan teh!” kata Joe bernada sumbang.
Istrinya
takut. Ia buru-buru membuang kopi itu. Lalu masuk ke dalam rumah,
berniat menggantinya dengan teh.
Sonia
tidak bisa melupakan kebiasaannya ketika menjadi istri mantan
suaminya;
Thomas.
Setiap pagi ia sering menyiapkan kopi untuk Thomas.
Kebiasaan itu berlanjut hingga ia memiliki suami yang baru;
Joe.
Setiap pagi dan malam ia selalu menyediakan kopi untuk Joe.
Joe
tidak menyukai secangkir kopi. Dalam arti lain, ia tidak menyukai
Sonia yang masih terbawa masa lalu. Tetapi ia tidak pernah
menegaskan bahwa dirinya hanya sebagai pelarian Sonia,
atau sebagai pelampiasan materi.
Hari-hari
berikutnya Joe sering pulang malam. Ia mencari penghiburan untuk
menenangkan hati.
Ketika
ia pulang ke rumah dan mengucapkan selamat tidur kepada Sonia, ada
sedikit hal aneh yang tidak dimengerti Sonia.
“Selamat
tidur, Sayang—”
Joe mengecup bibir istrinya.
Jika
Sonia peka seperti joe, ia pasti tahu. Joe sering mengecup pipi
sebelum pergi atau sebelum tidur. Tetapi baru-baru ini ia mengecup
bibirnya.
Sonia
sedang dalam proses mengubah kebiasaan di masa lalunya. Sedangkan Joe
baru saja dihinggapi kebiasaan-kebiasaan masa kini. Selama pergi
pulang malam, siapa yang tahu jika Joe mempunyai kebiasaan mengecup
bibir wanita lain?
“Ini
Secangkir kopinya, Sayang,” kata Sonia diwaktu lain.
“Dan
ini kecupanku, Sayang,” balas Joe.
Kesan
harmonis yang menyembunyikan sesuatu. Hanya tinggal menunggu waktu.
Mereka saling menutup diri.
Menutupi
pasangan gelapnya masing-masing—
~Sekian~(2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar