Morgana duduk
dikursi yang menghadap ke arah jendela rumahnya. Setiap pagi hingga
siang, atau setiap sore hingga malam. Tiada bosan ia melihat
pemandangan dari tempat duduk santainya itu. Apa yang membuatnya
betah duduk disitu? Padahal pemandangan di luar sana biasa saja.
Hanya jalan setapak yang disamping kirinya ada kebun. Jika sore hari
hingga malam hari, pemandangan yang selalu ia lihat gelap. Namun
Morgana tetap duduk santai, terkadang sambil minum bir kesukaannya
yang tidak begitu memabukkan.
Morgana hidup di
rumah besarnya bersama dua orang pembantu, suami istri; kakek Surma
dan nenek Moniah. Rumah itu warisan kedua orangtuanya yang diberikan
kepada Morgana sebagai anak tunggal. Almarhum kedua orangtuanya tidak
hanya mewariskan rumah. Tapi uang, emas, dan benda berharga lainnya.
Bagi Morgana, harta kedua orangtuanya itu tidak akan pernah habis.
Sedangkan keseharian Morgana hanya duduk merenung meminum bir. Ia
pemuda yang sudah tidak mempunyai semangat hidup.
“Kakek Surma!”
“Ada apa Tuan
memanggil saya?”
“Kakek Surma tahu
tidak, siapa gadis yang sering lewat di depan rumah ini? Dia berambut
panjang, ada tailalat dipipi kanannya, kulitnya kuning langsat, dan
wajahnya cantik.”
“Saya tidak tahu
Tuan—mungkin
orang baru di desa ini.”
“Kakek Surma
sering keluar rumah, pastinya tahu.” Desak Morgana.
“Kalau begitu,
jika Tuan Morgana nanti melihat gadis itu lagi, saya segera
dipanggil. Akan saya lihat, siapa gadis itu. Tapi sepertinya didesa
ini tidak ada gadis yang dimaksud Tuan.”
“Ya sudah, sana
pergi.” Morgana kecewa.
Setelah kakek Surma
pergi meninggalkan Morgana, Morgana kembali merenung. Ia masih duduk
dikursi menatap ke depan. “Aku sudah lama duduk di sini. Bahkan
hari-hariku kuhabiskan hanya untuk meminum bir. Begitu membosankan.
Tapi setelah melihat gadis itu tiga kali lewat depan rumahku,
sepertinya aku siap untuk keluar rumah. Aku harus menyelidiki dan
menemui gadis itu. Setiap dia lewat, tatapan matanya tajam melihat ke
arahku. Tatapan penuh arti—ya,
tatapan seorang gadis yang penuh maksud.” Morgana tersenyum,
kemudian mengambil rokok beserta korek gas dari saku celana
panjangnya. Setelah ujung rokok tersulut api, ia menghisap rokok itu
dalam-dalam. Kemudian dengan santai ia menyebulkan asapnya dari
mulut.
Dua hari sudah
berlalu. Morgana sering melihat gadis itu menatapnya dari luar
jendela rumahnya. Bagi Morgana, tatapan itu bak mata seorang putri
yang sedang memburu cinta pada pangerannya.
“Bagaimana kakek
Surma, apakah kamu kenal dengan gadis yang barusan lewat itu? itulah
gadis yang selama ini aku lihat.” kata Morgana. Terlihat langit
berwarna kemerahan dari kaca jendela. Hari ternyata sudah hampir
gelap.
“Saya tidak tahu
siapa gadis itu. Dia pasti orang baru didesa ini.”
“Besok
mudah-mudahan dia lewat lagi. Akan aku ikuti gadis itu. Dia pasti
berharap sesuatu padaku.”
“Sesuatu apa
Tuan?”
“Sesuatu yang
mungkin membuatnya bahagia. Tatapan dan tingkahnya membuatku yakin,
bahwa dia memancingku untuk mengejarnya lalu mengenalinya.”
Surma heran
mendengar kata-kata tuannya. Karena selama ini ia tidak pernah
melihat tuannya berani keluar rumah. Keberanian yang tiba-tiba muncul
karena tatapan penuh misteri yang ada dimata si gadis.
Setelah Surma
meninggalkan Morgana, ia menemui Moniah yang sedang berada di dapur.
“Sekarang Tuan
Morgana sudah berani keluar rumah,” bisik Surma pada istrinya.
“Kok tumben?”
“Gara-gara gadis
cantik yang sering lewat rumah ini. Tuan Morgana yakin, bila gadis
itu diam-diam naksir kepadanya.”
“Yang benar, mana
mungkin?”
“Hus! Jangan
keras-keras!” surma menutup mulut Moniah dengan telapak tangannya.
Kemudian mereka
berdua terkenang masa lalu ketika kedua orangtua Morgana masih hidup.
Ibu Morgana bernama Sova dan ayahnya bernama Topan. Topan adalah
pengusaha sukses di Jakarta. Cabang perusahaannya ada di mana-mana,
bahkan sampai keluar kota. Tapi sangat naas nasib mereka. Sepuluh
tahun yang lalu, ketika Morgana berumur 15 tahun, Sova dan Topan
mengalami kecelakan pesawat terbang yang menyebabkan mereka
meninggal. Setelah itu, perusahaan mereka dijual habis kepada teman
bisnis Topan yang juga pengusaha kaya, karena tidak ada yang
menggantikan pekerjaan Topan. Morgana sebagai anak tunggal selalu
dimanjakan kedua orangtuanya. Karakternya yang ugal-ugalan tak mau
hidup penuh beban, apalagi menggantikan pekerjaan ayahnya. Ia suka
berfoya-foya, tiga rumah ayahnya yang ada dibeberapa kota habis ia
jual. Kini tinggal satu rumah, yang ia tempati sekarang, di daerah
Solo.
“Aku jadi sedih
mengingat masa lalu.” Kenang Moniah.
“Aku juga. Tapi
aku sesalkan, kenapa Tuan Morgana memiliki sifat yang demikian
memprihatinkan itu. Sekarang seharusnya dia bangkit dan melupakan
tragedi ketika dia berumur 19 tahun. Dia harus semangat, tidak boleh
takut keluar rumah karena malu dan lain sebagainya.”
“Mudah-mudahan
gadis yang Tuan Morgana maksud bisa merubah segalanya. Karena besok
kita akan melihat Tuan Morgana keluar rumah.”
Pagi yang begitu
cerah. Seperti biasa, Morgana duduk di depan jendela melihat
pemandangan yang sudah beribu-ribu kali ia lihat.
“Hmm—sudah
jam sepuluh pagi, mestinya dia sudah lewat.” Kata Morgana sambil
menatap jam tangannya. “Oh, itu dia!” Morgana melihat gadis itu
lewat depan rumahnya. Morgana mengambil topi, kemudian memakainya.
Dengan penuh percaya diri ia membuntuti gadis itu dari belakang.
Morgana menoleh ke
kanan dan ke kiri. Berharap tidak ada orang yang melihatnya. Gadis
itu berhenti di depan sebuah rumah yang tidak asing bagi Morgana.
“Dia berhenti di depan rumah Bu Sifi. Aku yakin, dia mengontrak di
rumah itu.”
Dari dalam rumah itu
muncul seorang laki-laki muda yang menggandeng seorang gadis kecil.
Kemudian laki-laki itu mencium kening gadis yang diikuti Morgana.
Morgana yang semakin penasaran mencoba lebih mendekat. Ia bersembunyi
dibalik pohon besar. Ia mulai mendengarkan percakapan mereka.
“Isrtiku, ke mana
saja kamu? Tadi putri kita menangis.”
“Aku dari warung
membeli gula. Nih gulanya.” Gadis itu menyodorkan gula ke arah
laki-laki yang ternyata adalah suaminya.
“Ibu bilang dong,
kalau mau pergi—”
Kata anak gadisnya.
“Tadi kamu masih
tidur Sayang,” gadis itu mengelus pipi anaknya.
“Tidak! Tidak
mungkin! Gadis itu sudah punya suami, tapi kenapa mata cinta itu
selalu menatapku. Apa aku salah mengartikan semua ini?” Morgana
kecewa. Kemudian ia mencoba berjalan melewati gadis itu. Untuk
memastikan tatapan gadis itu lagi. Namun Morgana terlonjak ketika
anak gadis itu menangis melihat Morgana. Mengetahui itu, gadis itu
menatap dalam-dalam wajah Morgana.
“Oh, tidak!
Tatapan ini tidak seperti biasanya. Aku memang salah!” gumam
Morgana dalam hati. Kemudian ia berlari menuju rumahnya.
“Tidak! Tidak!”
jeritnya.
Hari berikutnya.
Surma dan Moniah
prihatin melihat keadaan Morgana yang kembali seperti hari-hari
sebelumnya. Mereka melihat Tuannya duduk di kursi menatap ke arah
jendela.
“Kasihan sekali
hidup Tuan Morgana,” kata Moniah, “sampai kapan dia akan seperti
itu? Apa dia akan terus sendiri? Mudah-mudahan ada wanita yang mau
menerima Tuan Morgana sebagai suaminya.”
Morgana kembali
melihat gadis itu berjalan melewati rumahnya. Gadis itu menatap
Morgana. Tapi Morgana mengurungkan niatnya untuk membalas tatapan
gadis itu. Ia palingkan mukanya. “Aku tak akan menatapnya lagi—tak
akan! Aku salah mengartikan sebuah tatapan. Kejadian enam tahun yang
lalu ketika aku berumur 19 tahun memang mematahkan semua semangat
hidupku. Aku menyesal.”
“Wajahku memang
aneh, wajahku memang jelek bekas pembakaran kelompok geng itu. Luka
bakar yang mengerikan. Gadis itu menatap aneh wajahku, aku yakin—”
_Selesai_ (2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar