Minggu, 29 Mei 2016

CERPEN: Teror Kucing Hitam

Saat itu malam musim hujan yang gelap. Malik berjalan mondar-mandir di serambi rumah, terkenang hidupnya yang selalu diteror seekor kucing hitam. Bagaimana tidak? Ia telah manabrak mati kucing itu. Ketika teringat tragedi kematian kucing hitam, ia bergidik. Teringat kepala kucing yang tergencet roda motornya. Apalagi darahnya yang memuncrat bersimbur.
Kesialan-kesialan mulai menimpanya. Dari yang paling sederhana sampai yang paling mengerikan. Ia pernah menjatuhkan gelas; entah halusinasi atau bukan, gelas itu seperti disambar sekelebat bayangan yang meloncat. Ia juga pernah mengalami mimpi-mimpi buruk melihat seekor kucing hitam yang berdarah-darah, menggerayangi tubuhnya. Malik yang berprofesi sebagai debt collector tinggal sendiri di rumahnya. Sepanjang malam Malik tidak pernah bisa tidur. Seperti mengalami depresi berat setelah mengalami hal-hal gaib yang tidak terjangkau oleh akal manusia biasa. Teror yang paling menyeramkan pada malam jum’at kliwon. Waktu itu, seperti ada yang mencakar-cakar jendela kamarnya dari luar. Jantung Malik berdegup kencang, suara garukan cakar semakin keras, semakin dekat, seakan-seakan jaraknya hanya beberapa sentimeter saja dari telinganya. Tiba-tiba suara itu berhenti. Malik penasaran. Dengan hati-hati ia raih daun jendela dan membukanya pelan-pelan. Hembusan angin dingin menyeruak masuk. Di luar sana, ia tidak melihat apa-apa kecuali kebun salak yang tampak gelap. Ia merasa lega. Tapi, belum saja menutup kembali jendela kamarnya, terdengar suara gemericik kalung lonceng seekor kucing. Bulu kuduk Malik berdiri, jantungnya kembali dipacu, tiba-tiba muncul dua sinar mata menatapnya dari arah kebun. Itu adalah mata seekor kucing. Malik lari terbirit-birit bersembunyi dibalik selimutnya dan sampai fajar menyingsing tidak terjadi apa-apa lagi.
Kini Malik berjalan mondar-mandir mengenang itu semua dan berkata pada dirinya sendiri:
Saat ini perasaanku masih belum tenang. Kucing hitam itu sudah dikuburkan dengan baik, seharusnya aku tak lagi mengingat tragedi tabrakan itu, tak lagi mengingat matanya yang nyalang. Tapi tak dapat kusembunyikan, semuanya masih terbayang dalam ingatanku.”
Malik mengenang lebih jauh tentang apa yang terjadi setelah mengalami banyak teror :
Ia datang ke rumah temannya. Banyak percakapan-percakapan menarik di sana. Di antara hal-hal yang mereka perbincangkan adalah mitos kesialan bagi yang menabrak kucing hitam. Bara, adalah teman Malik yang sangat mempercayai takhayul. Menurutnya, mitos menabrak kucing hitam sudah merupakan kepercayaan hampir disetiap daerah. Mitos seperti ini turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi. Bara mempercayai kesialan akan menimpa orang yang menabrak kucing hitam.
Masyarakat mempercayai bahwa kucing hitam merupakan jelmaan dari jin jahat,” kata Bara.“Apabila kita menabraknya sampai mati, maka ia akan marah dan balas dendam, menyebabkan orang yang menabraknya akan diganggu atau mendapat kesialan.”
Aku tidak percaya dengan yang namanya mitos,” ujar Malik.
Ya, aku tahu. Tapi tidak biasanya kamu mengawali pembicaraan tentang mitos. Ada apa?”
Aku menabrak kucing hitam dua hari yang lalu. Aku tidak percaya dengan yang namanya mitos. Tapi setelah menabrak kucing itu, aku mulai percaya.”
Kenapa? Apakah kamu dihantui roh kucing itu? Atau mungkin hanya ditimpa kesialan?”
Dua-duanya.”
Bagaimana kronologinya? Kucing siapa yang kamu tabrak?”
Kejadiannya sangat singkat dan tidak ada yang tahu. Saat berkendara menuju rumah, ada seekor kucing hitam yang menerobos jalanku. Terdapat kalung lonceng di leher kucing itu.”
Kucing hitam berkalung lonceng, seperti kucing milik Deva tetangga kita. Apakah kucing itu yang kamu tabrak?”
Ya, kucing itu milik Deva.”
Kesialanmu hanya bisa ditangkal dengan menguburkan kucing yang telah mati tersebut dengan layak,” saran Bara. “Menurut kepercayaan ada juga yang mengatakan saat mengubur harus menggunakan baju yang digunakan oleh si penabrak.”
Sudah terlambat. Aku yakin, kucing itu sudah disingkirkan.”
Itu hanya dugaanmu. Tidak ada salahnya kamu pergi ke tempat kejadian perkara. Siapa tahu kucing itu masih ada.”
Malik menerima saran Bara. Ia segera pergi ke tempat kejadian perkara. Apa yang telah diyakininya benar, kucing itu sudah tidak ada di sana. Hanya terlihat bercak-bercak darah yang masih menempel di tanah.
Tiba-tiba punggung Malik disentuh seseorang dari belakang. Ia terlonjak.
Maaf membuatmu kaget.”
Eh, Deva,” Malik tergugup melihat Deva, si pemilik kucing.
Sedang apa kamu di sini?”
Aku sedang jalan-jalan. Baru saja pulang dari rumah Bara. Kamu dari mana?” Malik melihat sekantong plastik yang dibawa Deva.
Aku dari warungnya Bu Piyem.”
Deva adalah seorang gadis manis berambut panjang. Periang, suka berceloteh, dan gemar bercengkerama dengan ibu-ibu. Jika bertemu dengan Deva, orang-orang yang ditemuinya akan diajaknya ngobrol. Seperti yang dialami Malik saat ini.
Ngomong-ngomong kamu masih memelihara hamster?” tanya Deva.
Tiga hari yang lalu hamsterku hilang. Campbell mosaic adalah satu-satunya hamster yang kupelihara. Hamster itu sangat langka, apalagi di Indonesia.”
Sayang sekali,” Deva turut prihatin. “Aku juga kehilangan binatang peliharaan. Kemarin tetangga sebelah menemukan kucingku tergeletak mati di tempat ini. Melihat kepalanya yang pecah, kemungkinan dia mati ditabrak. Aku telah menguburnya di kebun belakang rumahku.”
Dengan lagak yang dibuat-buat Malik melihat jam tangannya. “Aku harus segera pulang. Senang bertemu denganmu.”
Ya, aku juga.” Deva tersenyum.


Malik mengenang semua itu dan berpikir:
Meskipun bukan aku yang menguburnya, kucing itu sudah dikuburkan dengan layak. Kenapa hari-hariku masih merasa terancam dan tidak tenang?”
Malik melihat kilat. Angin mendesau, lalu rintik gerimis, dilanjutkan hujan besar disertai suara guntur. Suasana malam itu semakin mencekam.
Dingin,” gumam Malik. “Sebaiknya aku masuk ke dalam.”
Belum saja meraih daun pintu, ia melihat seekor kucing hitam duduk di atas kursi serambi rumahnya. Kucing itu diam, namun tatapan matanya tajam penuh kebencian, mulutnya terbuka, memperlihatkan gigi-giginya yang runcing.
Sejak kapan kamu ada di sini?” seru Malik. “Pergi! Jangan ganggu aku lagi!”
Kucing itu tidak bergeming. Tatapan matanya semakin memburu, semakin menyala, kuku-kukunya memanjang. Sambil mengeluarkan suara nyaring berpadu dengan suara guntur dan lebatnya hujan, kucing berbulu gelap bagai kelamnya malam itu meloncat, menerkam Malik.
Malik berkelit. Tubuh kucing itu membentur pintu. Gerakannya gesit dan lincah, ia kembali menjejakkan kakinya di lantai.
Tidak! Jangan sakiti aku!” Malik menjerit ketakutan. Ia lari terbirit-birit. Tak peduli derasnya air hujan, berlari menembus gelapnya malam. “Aku memang bersalah. Aku harus minta maaf kepada Deva.” Katanya sambil terus berlari. Ia merasa dikejar-kejar kucing itu.
Sesampainya di rumah Deva, Malik mengetuk pintunya berkali-kali. Kebetulan Deva yang membuka. “Astaga!” seru Deva.
Aku—aku minta maaf!”
Minta maaf untuk apa?”
Malik tidak menjawab. Ia menoleh-noleh ke belakang. Ia tampak kalut dan ketakutan. “Kucing ituaku yakin kucing itu masih memburuku.”
Ayo, sebaiknya kita masuk.” Deva menarik lengan Malik membawanya masuk ke dalam.
Mereka duduk di sofa ruang tamu. Setelah menenangkan diri, Malik membuka percakapan. “Deva, akulah yang menabrak kucingmu. Aku selalu diteror kucingmu. Aku mohon, maafkanlah aku.”
Kamu tidak sengaja menabraknya, lagi pula kucing itu sudah aku kuburkan dengan baik. Aku tidak memikirkannya lagi. Aku memaafkanmu.”
Malik melihat tirai jendela rumah Deva tersibak tertiup angin. Dari balik jendela itu nampaklah seekor kucing hitam.
Tidak!” jerit malik. “Lihat! Kucingmu akan membunuhku!”
Mana? Tidak ada apa-apa,” Deva melihat ke arah jendela. Kucing itu menghilang.
Malik menunduk sedih, “Sebenarnya aku telah menabrak kucingmu dengan sengaja.” Keluhnya.
Ya Tuhan!”
Maafkan aku. Mungkin karena itulah kucingmu menuntut balas. Semoga setelah aku mengakui perbuatanku ini, teror kucingmu segera berakhir.”
Lalu kenapa kamu sengaja menabrak kucingku?” Deva menurunkan nada bicaranya. Ia berusaha tetap tenang.
Aku benci dengan kucingmu. Dia telah memangsa hamster Campbell mosaic milikku.”
Apa buktinya?”
Aku mengambil kesimpulan sendiri. Hanya kucingmu yang berkeliaran keluar masuk ke rumah orang.”
Kalau begitu belum tentu kucing hitamku yang melakukannya. Bisa jadi hamstermu hilang atau dicuri.”
Entahlahsiapa pun yang melakukannya, sekarang aku khilaf. Aku takut dengan kucing hitammu. Dia berhasrat ingin mencabut nyawaku.”
Hujan sudah reda. Sebaiknya kamu pulang. Kamu sudah mengakui perbuatanmu, dan meminta maaf kepadaku. Mudah-mudahan kucingku tidak menerormu lagi.”
Malik segera pulang ke rumah. Ia menutup semua pintu dan tirai rumahnya. Ia duduk di sofa melepaskan penat. Tiba-tiba ada sesuatu yang menggigit jari-jari kakinya. Ia kibaskan keras-keras. Hampir saja ia menginjak sesuatu yang hidup, kecil, dan empuk.
Hamsterku! Kau masih hidup!” Ditangkaplah hamster kesayangannya.
Oh, andai engkau kembali kepadaku sebelum kutabrak kucing keparat itu!”
Malik baru tersadar bahwa ucapannya telah membangunkan sesuatu yang gelap. Lamat-lamat terdengar suara bernada ancaman, “MEONG…!”
Malik meringkuk. Ia merasa dikutuk; mendapatkan rasa takut yang berlebihan.


_Selesai_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar