Saat itu malam musim hujan yang gelap. Malik berjalan
mondar-mandir di serambi rumah, terkenang hidupnya yang selalu
diteror seekor kucing hitam. Bagaimana tidak? Ia telah manabrak mati
kucing itu. Ketika teringat tragedi kematian kucing hitam, ia
bergidik. Teringat kepala kucing yang tergencet roda motornya.
Apalagi darahnya yang memuncrat bersimbur.
Kesialan-kesialan mulai menimpanya. Dari yang paling
sederhana sampai yang paling mengerikan. Ia pernah menjatuhkan gelas;
entah halusinasi atau bukan, gelas itu seperti disambar sekelebat
bayangan yang meloncat. Ia juga pernah mengalami mimpi-mimpi buruk
melihat seekor kucing hitam yang berdarah-darah, menggerayangi
tubuhnya. Malik yang berprofesi sebagai debt
collector tinggal sendiri di rumahnya.
Sepanjang malam Malik tidak pernah bisa tidur. Seperti mengalami
depresi berat setelah mengalami hal-hal gaib yang tidak terjangkau
oleh akal manusia biasa. Teror yang paling menyeramkan pada malam
jum’at kliwon. Waktu itu, seperti ada yang mencakar-cakar jendela
kamarnya dari luar. Jantung Malik berdegup kencang, suara garukan
cakar semakin keras, semakin dekat, seakan-seakan jaraknya hanya
beberapa sentimeter saja dari telinganya.
Tiba-tiba suara itu berhenti. Malik
penasaran. Dengan hati-hati ia raih daun jendela
dan membukanya pelan-pelan. Hembusan angin
dingin menyeruak masuk. Di luar sana, ia tidak melihat apa-apa
kecuali kebun salak yang tampak gelap. Ia
merasa lega. Tapi, belum saja menutup kembali jendela kamarnya,
terdengar suara gemericik kalung lonceng seekor kucing. Bulu kuduk
Malik berdiri, jantungnya kembali dipacu, tiba-tiba muncul dua sinar
mata menatapnya dari arah kebun. Itu adalah mata seekor kucing. Malik
lari terbirit-birit bersembunyi dibalik selimutnya
dan sampai fajar menyingsing tidak terjadi
apa-apa lagi.
Kini Malik
berjalan mondar-mandir mengenang itu
semua dan berkata pada dirinya sendiri:
“Saat ini perasaanku masih belum tenang. Kucing hitam
itu sudah dikuburkan dengan baik, seharusnya aku tak lagi mengingat
tragedi tabrakan itu, tak lagi mengingat matanya yang nyalang. Tapi
tak dapat kusembunyikan,
semuanya masih terbayang dalam ingatanku.”
Malik mengenang lebih jauh tentang apa yang terjadi
setelah mengalami banyak teror
:
Ia datang ke rumah temannya. Banyak
percakapan-percakapan menarik di sana. Di antara hal-hal yang mereka
perbincangkan adalah mitos kesialan bagi yang menabrak kucing hitam.
Bara, adalah teman Malik yang sangat mempercayai takhayul.
Menurutnya, mitos menabrak kucing hitam sudah merupakan kepercayaan
hampir disetiap daerah. Mitos seperti ini turun temurun diwariskan
dari generasi ke generasi.
Bara mempercayai kesialan akan menimpa orang yang menabrak kucing
hitam.
“Masyarakat mempercayai bahwa kucing hitam merupakan
jelmaan dari jin jahat,” kata Bara.“Apabila kita menabraknya
sampai
mati, maka ia akan marah dan balas dendam,
menyebabkan orang yang menabraknya akan
diganggu atau mendapat kesialan.”
“Aku tidak percaya dengan yang namanya mitos,” ujar
Malik.
“Ya, aku tahu. Tapi tidak biasanya kamu mengawali
pembicaraan tentang mitos. Ada apa?”
“Aku menabrak kucing hitam dua hari yang lalu. Aku
tidak percaya dengan yang namanya mitos. Tapi setelah menabrak kucing
itu, aku mulai percaya.”
“Kenapa? Apakah kamu dihantui roh kucing itu? Atau
mungkin hanya ditimpa kesialan?”
“Dua-duanya.”
“Bagaimana kronologinya? Kucing siapa yang kamu
tabrak?”
“Kejadiannya sangat singkat dan tidak ada yang tahu.
Saat berkendara menuju rumah, ada seekor kucing hitam yang menerobos
jalanku. Terdapat kalung lonceng di leher kucing itu.”
“Kucing hitam berkalung lonceng,
seperti kucing milik Deva tetangga kita. Apakah kucing itu yang kamu
tabrak?”
“Ya, kucing itu milik Deva.”
“Kesialanmu hanya bisa ditangkal dengan menguburkan
kucing yang telah mati tersebut dengan layak,” saran Bara. “Menurut
kepercayaan ada juga yang mengatakan saat mengubur harus menggunakan
baju yang digunakan oleh si penabrak.”
“Sudah terlambat. Aku yakin, kucing itu sudah
disingkirkan.”
“Itu hanya dugaanmu. Tidak ada salahnya kamu pergi ke
tempat kejadian perkara. Siapa tahu kucing itu masih ada.”
Malik menerima saran Bara. Ia segera pergi ke tempat
kejadian perkara. Apa yang telah diyakininya benar, kucing itu sudah
tidak ada di sana. Hanya terlihat bercak-bercak darah yang masih
menempel di tanah.
Tiba-tiba punggung Malik disentuh seseorang dari
belakang. Ia terlonjak.
“Maaf membuatmu kaget.”
“Eh, Deva,” Malik tergugup melihat Deva, si pemilik
kucing.
“Sedang apa kamu di sini?”
“Aku
sedang jalan-jalan. Baru saja pulang dari rumah Bara. Kamu dari
mana?” Malik melihat sekantong plastik yang dibawa Deva.
“Aku dari warungnya
Bu Piyem.”
Deva adalah seorang gadis manis berambut panjang.
Periang, suka berceloteh, dan gemar bercengkerama dengan ibu-ibu.
Jika bertemu dengan Deva, orang-orang yang ditemuinya akan diajaknya
ngobrol. Seperti yang dialami Malik saat
ini.
“Ngomong-ngomong kamu masih memelihara hamster?”
tanya Deva.
“Tiga hari yang lalu hamsterku hilang. Campbell
mosaic adalah satu-satunya hamster yang
kupelihara. Hamster itu sangat langka, apalagi di Indonesia.”
“Sayang sekali,” Deva turut prihatin. “Aku juga
kehilangan binatang peliharaan.
Kemarin tetangga sebelah menemukan kucingku tergeletak mati di tempat
ini. Melihat kepalanya yang pecah, kemungkinan dia mati ditabrak. Aku
telah menguburnya di kebun belakang rumahku.”
Dengan lagak yang dibuat-buat Malik melihat jam
tangannya. “Aku harus segera pulang. Senang bertemu denganmu.”
“Ya, aku juga.” Deva tersenyum.
Malik mengenang semua itu
dan berpikir:
“Meskipun bukan aku yang menguburnya, kucing itu sudah
dikuburkan dengan layak. Kenapa hari-hariku masih merasa terancam dan
tidak tenang?”
Malik melihat kilat. Angin mendesau, lalu rintik
gerimis,
dilanjutkan hujan besar disertai suara guntur. Suasana malam itu
semakin mencekam.
“Dingin,” gumam Malik. “Sebaiknya aku masuk ke
dalam.”
Belum saja meraih daun pintu, ia melihat seekor kucing
hitam duduk di atas kursi serambi rumahnya. Kucing itu diam, namun
tatapan matanya tajam penuh kebencian, mulutnya terbuka,
memperlihatkan gigi-giginya yang runcing.
“Sejak kapan kamu ada di sini?” seru Malik. “Pergi!
Jangan ganggu aku lagi!”
Kucing itu tidak bergeming. Tatapan matanya semakin
memburu, semakin menyala, kuku-kukunya memanjang. Sambil mengeluarkan
suara nyaring berpadu dengan suara guntur dan lebatnya hujan, kucing
berbulu gelap bagai kelamnya malam itu meloncat, menerkam Malik.
Malik berkelit. Tubuh kucing itu membentur pintu.
Gerakannya gesit dan lincah, ia kembali menjejakkan kakinya di
lantai.
“Tidak! Jangan sakiti aku!” Malik menjerit
ketakutan. Ia lari terbirit-birit. Tak peduli derasnya air hujan,
berlari menembus gelapnya malam. “Aku memang bersalah. Aku harus
minta maaf kepada Deva.” Katanya sambil terus berlari. Ia merasa
dikejar-kejar kucing itu.
Sesampainya di rumah Deva, Malik mengetuk pintunya
berkali-kali. Kebetulan Deva yang membuka. “Astaga!” seru Deva.
“Aku—aku minta maaf!”
“Minta maaf untuk apa?”
Malik tidak menjawab. Ia menoleh-noleh ke belakang. Ia
tampak kalut dan ketakutan. “Kucing itu…
aku yakin kucing itu masih memburuku.”
“Ayo, sebaiknya kita masuk.” Deva menarik lengan
Malik membawanya masuk ke dalam.
Mereka duduk di sofa ruang tamu. Setelah menenangkan
diri, Malik membuka percakapan. “Deva, akulah yang menabrak
kucingmu. Aku selalu diteror kucingmu. Aku mohon, maafkanlah aku.”
“Kamu tidak sengaja menabraknya, lagi
pula kucing itu sudah aku kuburkan dengan
baik. Aku tidak memikirkannya lagi. Aku memaafkanmu.”
Malik melihat tirai jendela rumah Deva tersibak tertiup
angin. Dari balik jendela itu nampaklah seekor kucing hitam.
“Tidak!” jerit malik. “Lihat! Kucingmu akan
membunuhku!”
“Mana? Tidak ada apa-apa,” Deva melihat ke arah
jendela. Kucing itu menghilang.
Malik menunduk sedih, “Sebenarnya aku telah menabrak
kucingmu dengan
sengaja.” Keluhnya.
“Ya Tuhan!”
“Maafkan aku. Mungkin karena itulah kucingmu menuntut
balas. Semoga setelah aku mengakui perbuatanku ini, teror kucingmu
segera berakhir.”
“Lalu kenapa kamu sengaja menabrak kucingku?” Deva
menurunkan nada bicaranya. Ia berusaha tetap tenang.
“Aku benci dengan kucingmu. Dia telah memangsa hamster
Campbell mosaic milikku.”
“Apa buktinya?”
“Aku mengambil kesimpulan sendiri. Hanya
kucingmu yang berkeliaran keluar masuk ke
rumah orang.”
“Kalau begitu belum
tentu kucing hitamku yang melakukannya. Bisa jadi hamstermu hilang
atau dicuri.”
“Entahlah—siapa
pun yang melakukannya, sekarang aku khilaf. Aku takut dengan kucing
hitammu. Dia berhasrat ingin mencabut nyawaku.”
“Hujan sudah reda. Sebaiknya kamu pulang. Kamu sudah
mengakui perbuatanmu, dan meminta maaf kepadaku. Mudah-mudahan
kucingku
tidak menerormu
lagi.”
Malik segera pulang ke rumah. Ia menutup
semua pintu dan tirai rumahnya. Ia duduk di sofa melepaskan penat.
Tiba-tiba ada sesuatu yang menggigit jari-jari kakinya. Ia kibaskan
keras-keras. Hampir saja ia menginjak sesuatu yang hidup, kecil, dan
empuk.
“Hamsterku! Kau masih hidup!”
Ditangkaplah hamster kesayangannya.
“Oh, andai engkau kembali kepadaku
sebelum kutabrak kucing keparat itu!”
Malik baru tersadar bahwa ucapannya
telah membangunkan sesuatu yang gelap. Lamat-lamat terdengar suara
bernada ancaman, “MEONG…!”
Malik meringkuk. Ia merasa dikutuk;
mendapatkan rasa takut yang berlebihan.
_Selesai_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar