Rabu, 20 Juli 2016

Cerpen 'Gadis Dalam Ingatan'

Cerpen: Gadis Dalam Ingatan
Oleh: Tegar Noorwira D.P.

Kata mereka, kepalaku mengalami benturan keras akibat kecelakaan. Meskipun tidak fatal. Tidak menyebabkan amnesia yang parah. Ingatanku dapat kembali secara bertahap dari waktu ke waktu. Aku tidak kehilangan seluruh ingatanku. Aku masih bisa mengingat identitas diriku. Karena dukungan psikologis disertai terapi, aku bisa mengingat lingkungan sekitar; teman, dan juga saudara. Namun, satu hal yang belum bisa kuingat secara jelas; gadis yang menghiasi seisi kamarku. Mulai dari foto, nama, serta benda-benda lain yang katanya adalah kenangan manisku bersamanya.

“Ya, itu foto kenang-kenanganmu bersama Elifa,” kata adikku yang sedang melatih daya ingatku. “Kau bisa mengingatnya?”

“Belum,” jawabku. “Siapa dia?”

“Kekasihmu.”

“Di mana dia? Apakah dia tahu aku mengalami kecelakaan?”

Mendengar pertanyaan Husen, raut wajah Vanti berubah menjadi tegang. Katanya, “Aku ada janji dengan seorang teman!”

Vanti terburu-buru keluar dari kamar. Aku tahu, ada sesuatu yang disembunyikan dariku. Tapi apa? Aku duduk termangu-mangu menghadap ke jendela yang tirainya tersibak dihembus angin sore. Aku berusaha mengingat-ingat kisahku bersama Elifa. Sedikit demi sedikit, aku mulai mengingatnya. Tentang gelak tawa, berdansa, mendaki bukit, dan—apa lagi? Tiba-tiba kepalaku pusing. Begitu lemahnya kemampuanku untuk mengingat kembali kejadian yang lalu. Kurebahkan diriku di ranjang.

Sudah berapa lama aku tertidur? Kulihat jendela kamarku masih terbuka. Kini, yang terlihat adalah pemandangan malam. Bulan tidak berseri. Muram. Hawa dingin menyusup masuk. Aku bangkit dari ranjang lalu menutup jendela beserta tirainya. Terdengar suara lemah lembut memanggilku dari belakang, “Husen!” sesosok gadis masuk ke dalam kamarku, membuatku tertegun. Tidak begitu cantik namun pesonanya telah menjeratku.

“Elifa,” ujarku. “Kaukah itu?”

“Benar.”

“Apa yang telah terjadi di antara kita?”

Elifa diam. Di saat itu terdengar suara Vanti memanggil-manggil namaku. Cepat-cepat Elifa keluar bersamaan dengan masuknya Vanti.

“Tunggu, Elifa!” teriakku.

“Elifa?” Vanti bingung.

“Ya, Elifa. Kau sudah rabun?”

“Apa maksudmu?” Vanti menaikkan nada bicaranya.

“Elifa baru saja keluar saat kau masuk.”

“Aku tidak melihatnya.”

Aku terduduk lesu. Apakah aku sudah gila? Pikirku.

“Aku hanya ingin menyarankan,” Vanti menatapku iba. “Besok, pergilah berlibur untuk menyegarkan otak.”

Kuterima saran adikku. Demi memperbaiki ingatanku—aku berlibur ke tempat-tempat di mana aku pernah berdua dengan Elifa; ditemani seorang sopir pribadi yang menjadi pemandu.

“Apakah Tuan bisa mengingat sesuatu di kafe ini?” tanya sopirku. Kami duduk berdua menikmati kopi dan dihibur dengan musik romantis.

Kudengar baik-baik musik yang dilantunkan, kulihat setiap orang yang sedang berdansa, dan kuamati seluruh ruangan. Setelah itu, barulah kujawab pertanyaan sang sopir, “Di tempat ini aku pernah berdansa dengan Elifa. Dia memelukku dan mengatakan sesuatu kepadaku,” kuhentikan perkataanku, mencoba mengingat-ingatnya. “Dia mengatakan ‘aku mencintaimu, Husen, mencintaimu sepenuh hati, dan jangan pernah tinggalkan aku’ ya, dia mengatakan seperti itu kepadaku.”

Kutatap lekat-lekat wajah sopirku, “Bagaimana hubunganku dengan Elifa saat ini?”

Sang sopir gugup, “Soal itu, saya benar-benar tidak tahu.”

***

Setelah semua tempat kami kunjungi, berangsur-angsur ingatanku mulai pulih. Aku bisa mengingat hari-hari indahku bersama Elifa. Membangkitkan rasa bahagia di dadaku. Tapi ingatanku belum sepenuhnya terbuka. Kenapa aku bisa kecelakaan? Bagaimana hubunganku dengan Elifa saat ini? Aku belum bisa menjawab.

Hari-hari berikutnya Elifa selalu datang menemuiku. Tapi, setiap kali ada yang datang, ia terburu-buru pergi. Apa yang sebenarnya terjadi? Ingin sekali aku ke rumahnya, menanyakan hubungan kami. Maka, aku segera berjalan menuju kamar Vanti, menanyakan di mana Elifa tinggal. Sesampainya di ruang tengah, kuhentikan langkahku. Kulihat Vanti sedang berbicara dengan Atanto, sopir pribadiku.

“Apa saja yang kau katakan kepada kakakku?”

“Saya tidak mengatakan apa-apa.”

“Ingat, jangan katakan Elifa sudah meninggal.”

“Ya, saya mengerti,” Atanto mengangguk.

“Aku tidak mau membuatnya sedih. Aku juga tidak tega—semisal mengatakan semua ini kepadanya. Biarlah suatu saat nanti dia mengingatnya sendiri secara alami.”

Kemudian, Atanto pamit meninggalkan Vanti.

Hatiku bagaikan disambar petir mendengar apa yang mereka bicarakan. Benarkah Elifa sudah meninggal? Lalu siapa yang sering menemuiku? Tanpa berpikir panjang kutanyakan semua ini kepada Vanti. Aku harus memaksanya berkata jujur.

“Aku sudah mendengar semua pembicaraanmu,” kataku kepada Vanti. Kami duduk di sofa ruang tamu.

“Tak ada lagi yang perlu kau sembunyikan dariku,” kutatap tajam wajahnya. “Kenapa Elifa meninggal? Kenapa?”


*READ MORE----> hanya ada di buku kumpulan cerita pendek “Satu Malam Panjang” (pemesanan melalui inbox Egar Noorwira Dp, tersedia/limited).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar